Minggu, 03 Agustus 2008

Di Labuan Bajo

Simon Hayon: Siapa Saja Harus Bening

Pos Kupang, 20 Juli 2008

SIAPAKAH bupati yang paling fenomenal saat ini? Siap lagi kalau bukan Bupati Flores Timur, Drs. Simon Hayon. Setelah heboh dengan gebrakan perampingan struktur yang membuat banyak orang di Flotim kehilangan jabatan, kini Simon membuat heboh dengan perilaku dan pernyataan-pernyataannya menyangkut nilai adat-istiadat. Apa maksud pernyataan- pernyataannya itu, wartawan Pos Kupang, Agus Sape, mewawancarai Simon Hayon di rumah pribadinya di Kuanino- Kupang pada hari Rabu (16/7/2008) malam. Berikut petikan wawancaranya.

Sejak awal menjadi Bupati Flores Timur, Anda ingin membangun Flores Timur dengan paradigma budaya. Tolong jelaskan gagasan ini.
Pembangunan berbasis budaya itu sebenarnya pembangunan yang menempatkan manusia sebagai titik sentral. Kalau kita bicara tentang manusia, maka kita bicara tentang jiwa dan raga. Kalau kita bicara tentang jiwa dan raga, maka sesungguhnya, sesuai dengan keyakinan, saya kira dalam semua agama, termasuk agama Katolik, bahwa kita berupaya melalui pembangunan itu, kita menjaga, merawat supaya manusia itu tetap secitra dengan Allah. Artinya bahwa Allah itu mahabaik, mahakasih, maka hidup manusia dalam satu kesatuan jiwa dan raga harus memantulkan kasih. Konsekuensinya, kita tidak hanya bicara tentang pembangunan fisik, tapi juga bicara tentang pembangunan jiwa. Dalam konkretisasinya, kita berupaya mendorong tumbuhnya nilai-nilai persaudaraan, kasih, solidaritas, kejujuran.
Dari paradigma budaya ini mengalirlah visi kita, visi pembangunan: terwujudnya manusia dan masyarakat Flores Timur yang maju, sejahtera, bermartabat dan berdaya saing. Untuk mewujudkan visi ini, ada dua misi penting. Pertama, berkaitan dengan manusia yang menjadi subyek pembangunan sekaligus manusia dan masyarakat yang mampu memiliki jati diri. Itu misi pertama yang harus dikerjakan secara all out untuk terwujudnya visi.
Misi kedua, mewujudkan tata pemerintahan yang baik, yang berintikan prinsip-prinsip penegakan hukum, transparansi, partisipasi, dan di dalamnya juga otomatis terkait dengan terbentuknya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Kedua misi ini sebenarnya saling mendukung, yang dalam awal tiga tahun ini saya mengistilahkan dengan kembali ke fitrah, kembali ke kebeningan, kembali ke yang murni.
Saya melihat misi pertama mengenai jati diri itu mulai mencapai titik klimaksnya. Bicara jati diri berarti, pertama, bicara tentang ajaran-ajaran leluhur, baik dalam konteks masyarakat adat, masyarakat budaya maupun dalam konteks masyarakat agama. Nilai-nilai itu kita temukan dalam ketiga hal itu. Dan hukum adat itulah yang kita sebut hukum Maya-Pada.

Apa yang Anda maksud dengan hukum Maya-Pada?
Maya-Pada itu istilah Jawa yang dalam bahasa kita disebut hukum adat. Maya artinya alam roh, Pada artinya alam kasar, alam fisik, alam nyata. Nah, kalau kita bicara ajaran leluhur, kita tidak bisa mengarang hal yang baru, karena ajaran itu sudah final. Tapi, kalau kita sudah mengetahui ajaran leluhur, maka kita masuk ke wilayah berikutnya, siapa leluhur kita? Yang jelas kita mengakui Tuhan, tapi juga ada pendahulu-pendahulu kita, yang menerima ajaran itu dari kekuatan tunggal. Dan kalau begitu, kita juga masuk dalam wilayah pertanyaan, siapa leluhur kita? Itu masuk dalam wilayah sejarah. Sejarah masih berevolusi untuk mencapai titik kepenuhan, dan ajaran itu sudah final. Jadi kita tidak bisa mengarang baru. Saya lebih khusus misalnya pada kita yang Katolik, dengan Yesus itu sudah final. Jadi jangan bilang, setelah Yesus, kita yang di Katolik, ada lagi ajaran. Tidak ada lagi. Yesus itu sudah memenuhi Perjanjian Lama, menyempurnakannya, karena itu disebut Perjanjian Baru. Perjanjian Lama itu intinya pada Nabi Musa, kemudian dijabarkan oleh para nabi, kemudian Yesus datang menyempurnakan. Karena itu dalam Alkitab dikatakan, Yesus lebih tinggi dari Musa.
Sehingga dalam perjalanan itu (masa kepemimpinan, Red), saya terus terang saja, di samping program pembangunan fisik, seperti jalan dan macam-macam kebutuhan fisik, juga kebutuhan jiwa, dengan mendorong tumbuhnya kembali nilai-nilai yang mulai hilang di tengah masyarakat. Jangan manusia itu diukur dari nilai- nilai kebendaan saja, tetapi juga nilai-nilai rohaniah. Karena itulah juga lagu Indonesia Raya: bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.

Tapi, situasi di Flores Timur akhir-akhir ini kan heboh sekali. Ada yang menilai pembicaraan dan perilaku Anda sudah banyak yang keluar dari visi-misi tadi itu.
Loh, justru (visi misi) itu yang saya optimalkan. Jadi, masalahnya karena orang terlalu melihat pada pembangunan fisik. Ketika kita bicara nilai, orang sepertinya merasa, loh kok tidak menyentuh kebutuhan raga. Raga kan sementara berjalan. Yang namanya pembangunan, ya untuk mencapai manusia seutuhnya. Kita tidak bisa hanya membangun raga.
Yang kedua, karena orang tidak memahami hukum alam, hukum adat, hukum Maya-Pada tadi. Kalau hukum Maya-Pada bicara alam maya, alam roh dan alam nyata, sulit (ditangkap, Red) kalau orang tidak bening, kalau orang sudah terikat pada dunia material, yang disebut bumi itu, maka sulit punya kebeningan untuk melihat secara jernih.
Yang berikut, kalau kita cermati hukum alam, maka, menurut saya, sebenarnya dalam kurun atau rentang waktu tertentu, bumi yang juga disebut buana agung, mengalami proses kilas balik.
Kalau kita di Katolik misalnya, ada istilah rekoleksi, retret, itu kan untuk mencari titik bening. Istilah umumnya, refleksi. Ini juga sama, kembali mencari titik bening. Kita (manusia) ini disebut buana kecil, buana alit. Dalam perjalanan kita ke depan, kita juga kembali akan melihat itu. Bumi yang besar ini akan kembali mencari titik bening. Ketika bumi yang besar ini (buana agung), kembali mencari titik bening, maka kita yang disebut buana alit di atasnya, kalau tidak bening, ya memang terganggu. Kenapa? Karena terjadi pertentangan di dalam diri kita, antara hakikat penciptaan "baik adanya" dengan keterikatan pada dunia material. Jadi konflik antara dua unsur itu terjadi dalam diri orang.

Ini antara lain yang membuat heboh di Flores Timur, yaitu pernyataan Anda yang menyebut Lamaholot sebagai pusat peradaban dunia. Tolong dijelaskan.
Itu kan asumsi saya, dengan memperhatikan (apa yang ada dalam masyarakat Flores Timur, Red). Kan saya keliling dari desa ke desa. Saya memperhatikan nama-nama, simbol-simbol. Nama itu misalnya Solor, masih ada secara fisik. Ada jagung Solot, ada orang yang namanya Solot. Dan saya mempunyai asumsi bahwa ada sebuah benua yang hilang, yang disebut Benua Solot. Benua Solot itulah benua awal. Sekarang kita mencari Benua Solot itu ada di mana? Ya, tentu dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia, yang juga sebenarnya dalam penguasaan Tuhan, kemudian bisa dikaji, di mana itu Benua Solot?
Yang kedua, para ilmuwan pun berpendapat bahwa peradaban bermula di Timur. Pertanyaan kita, Timur itu yang mana? Setiap kelompok, setiap orang boleh mencari. Apakah Timur itu di Sulawesi, di Irian, di Timur Tengah, kan bisa saja. Dan, sebagai orang yang menggali akar budaya Lamaholot, saya juga bisa mempunyai asumsi seperti itu. Tinggal saja nanti dikaji, seperti apa? Nah kalau di dalam perkembangan peradaban dunia, ternyata terjadi pencemaran-pencemaran, kontaminasi yang tidak sesuai dengan ajaran leluhur, maka perubahan pun harus dimulai dari Timur. Secara teoretik para ilmuwan berpendapat begitu.

Anda mulai omong begini, katanya, sejak bertemu dengan Albert Pito (seorang paranormal asal Lembata).
Oh, ndak. Albert Pito atau siapa pun dia, apakah itu perorangan atau kelompok, bagi saya, kalau dia mempunyai bahan untuk melengkapi, silakan datang, supaya kita merajut, untuk menemukan suatu kebulatan, suatu keutuhan. Jadi siapa saja.

Jadi, ini memang hasil olah pikir Anda sendiri?
Ya, olah pikir, dan memang ada tambahan dari Pak Albert Pito. Tapi itu kan baru dia. Siapa saja, dan saya akan mengundang tokoh-tokoh adat, mereka sudah bersedia untuk bicara. Jadi, jangan berpikir Albert Pito itu mempengaruhi saya, karena misi ini secara resmi saya sudah letakkan. Misi tadi itu loh, dan itu di dalam dokumen pembangunan, ditetapkan dengan Peraturan Bupati (Flores Timur) Nomor 8 Tahun 2006. Jadi Albert Pito atau siapa pun, dia hanya boleh datang melengkapi. Dia tidak boleh mempengaruhi saya.

Sejak memimpin Flores Timur, Anda rajin ke desa-desa. Satu hal yang unik, setiap kali ke desa-desa, Anda datang ke kubur- kubur tua, menghormati kubur-kubur itu, dan juga rumah- rumah adat.
Bukan kubur tua, tapi menyinggahi rumah-rumah adat. Dan, itu bukan saya punya mau. Masyarakat, tua-tua adat di kampung- kampung itu yang minta, dan saya menghormati, karena di situ awal mula kehidupan. Kalau kita bicara leluhur, ya kita menghormati warisan mereka, termasuk rumah-rumah adat. Karena di situlah hukum adat dibicarakan.

Termasuk pernah menghadiri seremoni di kuburan Suku Temaluru di lereng Ile Mandiri baru-baru ini.
Oh, saya pergi bakar lilin. Bakar lilin itu kan siapa saja boleh. Dia (Temaluru) pernah menjadi raja di sana, ya wajar saya pergi. Orang biasa saja saya pergi kok, kenapa seorang yang pernah menjadi raja di sana, saya tidak boleh pergi. Kok kuburan umum juga kita pergi. Kenapa kuburan leluhur yang mendahului kita, yang pernah mempunyai jasa, kita tidak boleh pergi? Kenapa jadi soal?

Ini yang lebih heboh lagi. Pada tanggal 17 April 2008, Anda didampingi sejumlah pejabat dan anggota TNI menggelar seremoni adat dengan menyembelih tiga ekor sapi dan satu ekor kerbau di Desa Nobo Gayak dan Pantai Wora Mea, Kecamatan Ileng Boleng. Dalam seremoni itu Anda membungkus kepala kerbau dengan kain putih lalu dikubur di tepi pantai dengan kepala menghadap ke Lembata. Bagaimana sebenarnya?
Masalah Nobo itu bukan konteks desa (lewo). Nobo itu fakta. Nobo itu nuba, yaitu takhta. Jadi kita bicara Nobo berarti kita bicara kerajaan. Kita bicara Kerajaan Awololong. Nah kalau kita bicara Kerajaan Awololong, itu kita bicara konteks lewotana (bumi), bukan konteks lewo (desa). Jadi pantas kalau kita bikin upacara itu, potong kerbau, potong sapi, itu wajar.

Korban kerbau itu maksudnya apa?
Ya, memang kerbau kenapa? Tidak boleh kerbau? Kerbau, memang yang terbaik. Harus cari yang terbaik. Karena itu konteks kerajaan. Tidak ada masalah.

Tapi, katanya, korban kerbau itu untuk memindahkan emas dari Lembata ke Nobo Gayak.
Itu kan katanya. Yesus juga pernah kritik murid-muridnya. Ketika Yesus bertanya, "Menurut kamu siapakah Aku ini?" Lalu murid- murid itu mulai bilang, menurut si ini begini, menurut si ini begini. Yesus kembali bertanya, "Tidak, menurut kamu, bukan menurut orang. Bukan katanya, tapi menurut kamu. Dan, semua informasi ini, katanya.

Jadi upacara itu tidak dimaksudkan untuk memindahkan emas dari Lembata?
Oh, tidak! Tidak ada urusan. Tidak ada hubungan dengan emas. Itu hubungan dengan leluhur, konteks kerajaan itu, ada pendahulu-pendahulu. Dan kita hormati itu. Tidak ada hubungan dengan emas.

Tapi herannya cerita seperti ini bisa beredar.
Saya juga tidak ngerti. Ya, karena orang tidak paham lalu bicara. Orang tidak bening lalu bicara, kan jadi repot.

Pada bulan Maret 2008, kebetulan ada acara Forkom P2HP di Kelurahan Sarotari yang dihadiri Ketua Forkom P2HP NTT, Ny.Mien Patty Mangoe, Anda berpidato bahwa emas di Lembata itu bukan tambang, tapi pusaka leluhur Lamaholot.
Loh, yang namanya bumi dan segala isinya, itu ciptaan siapa? Ya, Tuhan. Sekarang, yang namanya leluhur itu ada di mana? Ya, di alam maya. Mungkin yang namanya leluhur adalah para kudus. Le itu jiwa, lu itu yang dikebumikan, hur itu yang di ketinggian. Orang mati yang sudah dikebumikan, tapi karena saleh dia diangkat ke tempat yang tinggi, bercahaya. Tuhan menciptakan itu, dan Menugaskan yang namanya leluhur untuk menjaga. Jadi kalau konteks Lembata, orang berdebat dengan saya, bilang emas di Lembata tidak ada, loh saya bukan ahli tambang, saya bukan ahli emas. Kita berdebat tujuh hari tujuh malam tidak akan selesai. Untuk membuktikan itu, cari orang yang punya teknologi untuk mengecek. Itu lebih pas daripada berdebat dengan saya. Tapi kalau saya mempunyai keyakinan, itu hak saya. Kalau saya mengatakan bahwa itu diciptakan Tuhan, dijaga oleh leluhur, dan itu untuk kepentingan banyak orang, maka ketika orang mau mengambil itu untuk kepentingan diri atau kelompok, dan tidak untuk kepentingan umum, saya kira sulit. Itu menurut saya. Tapi, bisa saja menurut orang lain tidak begitu. Ya, silakan pergi cek di Lembata.

Tapi, kok para pastor dan masyarakat Flores Timur sepertinya tidak bisa menangkap pikiran Anda. Bahkan sekitar 200 orang yang tergabung dalam Dewan Pastoral Paroki pernah datang ke DPRD Flotim minta Anda menjelaskan semua pernyataan ini.
Ya, siapa saja harus dengan bening. Kalau tidak bening ya tidak bisa mengerti. Kalau orang masih memelihara dirinya sebagai hakikat penciptaan 'baik adanya', dia bening dan bisa menangkap. Tapi kalau dalam dirinya sudah terikat dengan dunia material, alam pada, maka sulit.

Bahkan mereka menganggap pikiran Anda sesat dan mengganggu ajaran Gereja.
Kalau ajaran sesat, silakan lapor saya di kejaksaan. Bukan bawa saya ke DPRD, karena di sana (DPRD) tidak ada fungsi untuk menilai ajaran sesat atau tidak. Institusi yang sudah dihadirkan di negara ini adalah kejaksaan. Di situ diteliti mana ajaran, mana sesat dan mana ajaran sesat. Apakah saya pernah mengumpulkan orang dan berdoa dengan cara saya? Yang kedua, institusi agama bertugas untuk merawat ajaran leluhur. Jadi yang menyelamatkan kita adalah iman sesuai dengan ajaran.

Dalam kaitan dengan pusat peradaban, Anda pernah mengatakan bahwa cepat atau lambat para petinggi dunia akan datang ke Flotim untuk mencari asal-usulnya (pukeng). Apa maksud pernyataan Anda?
Asumsinya, kalau kemudian pengkajian itu membuktikan bahwa peradaban bermula di Timur, dan Timur itu adalah kita, maka tentu orang berdatangan toh, untuk melihat, menyaksikan. Kan wajar saja kalau orang datang untuk menyaksikan. Misalnya, kalau kita bicara tentang Kerajaan Awololong sebagai yang awal mula, maka ada sejumlah benda purbakala, ada bendera, kain sutera (tapi sudah sobek-sobek), simbolnya itu serigala, ada mahkota dan ada sejumlah yang lain. Kan itu bisa ditafsir. Bahasa bisa ditafsir. Dan itu nanti ada lembaga yang namanya La Rose (dari Perancis) yang meneliti. Saya misalnya, Hayon, biasa disapa dalam adat La atau Lao, apakah mempunyai kesamaan dari aspek linguistik? Apakah La Rose itu simbolik dari Maria? Apakah La Hayon itu sekadar nama suku atau nama simbolik dari seorang leluhur yang terkenal? Nah itu harus dikaji. Itu sebagai contoh.Tapi kan bukan La Hayon saja. La Werang, mungkin ada La Bethan, kan kita belum tahu. Nanti lembaga itu (La Rose) yang kaji karena ada ahli linguistiknya.

Anda juga pernah menyebut bahwa di Nobo Gayak ada kuburan Firaun.
Itu saya belum pernah sampaikan melalui forum resmi (publik), tapi kalau sharing dua tiga orang, iya. Tapi, biarlah nanti lembaga itu (La Rose) yang membuktikan. Menurut saya sih, intinya pada Benua Solot itu. Kalau Benua Solot itu terbukti ada, maka peradabannya mulai dari situ. Termasuk di dalamnya Firaun atau Mesir.

Anda juga pernah mengatakan Yesus lahir di Wureh (Adonara Barat).
Oh, itu tidak pernah di publik.

Meski sharing dengan dua tiga orang saja, apakah yang Anda katakan itu lahir dari suatu keyakinan?
Ya, pengalaman iman saja. Sharing iman kan boleh. Kita di Gereja Katolik kan boleh (sharing iman).

Tapi, kira-kira maknanya apa? Misalnya, Anda katakan Yesus lahir di Wureh.
Tidak, Yesus lahir di Wureh itu tidak pernah saya omong. Yang jelas bahwa saya punya pengalaman yang saya sharing-kan yaitu ketika prosesi laut hari Jumat (Agung), prosesi Tuan Menino. Sudah tiga tahun saya diminta mengantar itu (Tuan Menino). Itu hujan mulai sepuluh menit setelah berangkat. Hujan berhenti sepuluh menit sebelum turun. Air laut bergelora. Setelah dua pertiga perjalanan, saya ketemu sampah dan air keruh. Ya, saya waktu itu terganggu, batin saya terganggu. Saya pikir sampah itu terus sampai mendarat, ternyata kan tidak. Di depannya kan bersih lagi. Besoknya saya ke Wureh. Saya masuk di Kapela Tuan Berdiri. Bagi saya satu pertanyaan, kenapa di kapela ini patung (Yesus) dewasa? Kenapa di Kota Rwido itu patung kecil, bayi? Itu bagi saya menarik. Sebagai orang yang beriman kepada Yesus, saya bertanya kenapa? Tapi saya tidak pernah mengatakan Yesus lahir di situ.

Gara-gara pernyataan-pernyataan tadi, sejumlah kalangan di Flores Timur menilai Anda sudah tidak sehat lagi. Apa tanggapan Anda?
Saya sebagai bupati tidak ingin hanya mengurus hal-hal lahiriah saja. Saya bertanggung jawab terhadap pembangunan lahir batin. Saya juga bertanggung jawab menggali nilai-nilai, yang memang sudah tenggelam. Ketika kita menggali yang sudah tenggelam, termasuk sejarah dan nilai-nilai yang hilang, jadi memang orang merasa aneh, karena sudah jauh dari hakikatnya. Tapi, saya memaknai (penilaian ini, Red) secara positif saja. Bahwa riak ini adalah pergerakan jiwa menyatu dengan raga. Supaya ada daya, ada kehidupan. *