Jumat, 26 Oktober 2007

Bermimpi Bersama Anturium

Oleh Ilham Khoiri

SAAT ini, semakin banyak orang yang jatuh cinta pada anturium. Selain terpikat oleh keindahan daun-daunnya, mereka bersemangat memelihara tanaman mirip talas itu lantaran dibuai harapan memperoleh untung besar. Maklum, tanaman yang sedang naik daun ini memang sedang punya pasar bagus.
Cobalah datang ke sentra tanaman hias di Sawangan, Depok, Jawa Barat. Di sepanjang pinggir jalan kita bakal menemukan beragam anturium, mulai dari indukan besar, tanaman dewasa, sampai kecambah kecil hasil semaian. Kawasan itu juga menjadi tempat nongkrong para penggemar tanaman ini.
Salah satu tempat itu adalah Godongijo Nursery di Desa Sarua, Sawangan. Awal Oktober lalu, misalnya, sejumlah lelaki duduk-duduk santai di teras Godongijo Nursery sambil membahas berbagai perkembangan terbaru tanaman itu. Kebetulan saat itu mereka memperoleh buku anturium yang baru saja terbit.
"Perkembangan anturium sangat cepat. Makin banyak bermunculan hasil silangan baru dan harganya juga terus bergerak. Kami sering bertemu biar tak ketinggalan informasi," kata Aji Basri (30), penggemar tanaman hias asal Pamulang, Tangerang.
Tak ada jadwal pertemuan khusus. Kumpul-kumpul seperti itu bisa terjadi kapan saja jika dirasa ada kebutuhan penting. Mereka terdiri dari para pedagang, penghobi, kolektor, serta penggemar anturium yang punya hubungan erat.
Mereka umumnya terdiri dari pencinta tanaman hias yang belakangan tersedot pesona anturium. Sebagian lagi penggemar ikan atau burung yang beralih ke tanaman itu. Tetapi, ada juga beberapa pemain lama yang memelihara anturium sejak tahun 1980-an.
Di Semarang, Jawa Tengah, terbentuk Komunitas Anturium Indonesia (KAI) di Semarang, awal September. Organisasi itu dideklarasikan kolektor, pedagang, pakar tanaman, serta penggemar dari Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Mereka merancang program pertemuan, diskusi, kontes, dan pameran lebih rutin lagi.
Sebelum itu, sudah ada Komunitas Anturium Karanganyar (KAK), yang banyak beranggotakan penggemar dan petani di kaki Gunung Lawu, Karanganyar. Kini KAK melebur dalam KAI. Hingga kini, KAI masih terus menjaring anggota baru dengan menyebarkan formulir serta meresmikan sejumlah cabang, antara lain di Denpasar, Yogyakarta, Batang, Pekalongan, dan Malang.
"Kami ingin menjaga stabilitas harga dan kualitas anturium serta menyiapkan program sertifikasi dan standardisasi jenis dan nama. Produk tanaman ini potensial untuk diekspor ke luar negeri," kata Ketua KAI Bonaventura Sulistiana.
Maskulin
Kenapa mereka terpikat dengan tanaman yang di mata sebagian orang awam tampak "biasa-biasa saja" itu? Bagi penggemar fanatik, anturium sangatlah istimewa. Setiap lekuk, warna, tekstur, dan urat daunnya memendarkan pesona tersendiri.
Daun anturium berwarna hijau tua atau sedikit muda dengan urat dan tulang daun yang kekar dan menonjol. Sosoknya gagah sekaligus anggun dan mewah. Mungkin lantaran penampilannya yang terkesan maskulin, maka penggemarnya lebih didominasi laki-laki ketimbang perempuan. Jenis anturium yang kini banyak diburu antara lain berbagai turunan Jenmanii, Hookeri, Gelombang Cinta atau Wave Love, Garuda, dan Black Beauty.
Dulu, anturium jadi hiasan taman dan istana para raja. Tahun 1984-1985, hobi memelihara tanaman ini menggejala sebagai ikon gaya hidup elite. Sempat tenggelam sebentar, tanaman itu melejit lagi sekitar tahun 1987-1992. Awal tahun 2006, anturium kembali menduduki posisi puncak tanaman hias.
Menurut Ketua Florikultura Indonesia Iwan Hendrayatna, anturium muncul saat pasar jenuh dengan tanaman hias aglonema. "Saat aglonema turun, orang-orang mencari mainan baru dengan melirik anturium lagi," katanya.
Pasang ketiga kali ini berlangsung cepat dan diwarnai lonjakan harga. Februari tahun 2006, harga satu anturium induk dewasa jenis Jenmanii klasik sekitar Rp 1 juta per pohon. Beberapa bulan kemudian, harganya sudah tak keruan.
"Saat pameran tanaman hias di Lapangan Banteng, Jakarta, Agustus 2006, saya beli jenis Jemanii kobra Rp 15 juta. Beberapa saat kemudian, pohon itu dibeli penggemar asal Jawa Tengah seharga Rp 25 juta," kata Aseng Suwandi Taher (48), kolektor anturium asal Bogor.
Kini, harga jual dihitung dari jumlah daunnya. Satu daun jenis Jenmanii "kobra" dijual sampai puluhan juta. Bahkan, biji yang siap disemai sudah dihargai Rp 185.000-Rp 800.000 per buah. Bonggol (umbi), tongkol (bunga), dan kecambah hasil semaian juga laris.
Rekor harga dicapai satu jenis Jenmanii silangan baru di Kudus, Jawa Tengah, yang dijual sampai Rp 1,25 miliar belum lama ini. Padahal, tanaman itu masih setinggi 60-an sentimeter.
Komoditas
Keadaan ini memberi berkah bagi petani, pedagang pengumpul, kolektor, sampai penggemar. Kisah pemelihara anturium "yang kaya mendadak" jadi bumbu obrolan di kalangan pencinta tanaman hias. Impian meraup keuntungan tinggi dalam waktu cepat membuat banyak orang memburu tanaman ini.
"Masyarakat memelihara anturium karena ada harapan bakal memanen keuntungan. Impian ini tumbuh subur di tengah situasi ekonomi bangsa yang lesu," kata Firdaus Alamhudi, pelukis asal Pondok Pinang, Jakarta Selatan, yang belakangan jatuh cinta pada anturium.
Sampai kapan fenomena ini berlangsung? Banyak kalangan optimistis tanaman ini masih akan bagus posisinya karena masih bermunculan bermacam jenis silangan baru. Meski begitu, tak sedikit yang menduga pasar ini hanya gelembung sementara hasil "goreng-gorengan" di antara pedagang sehingga bakal menurun juga suatu saat nanti.
"Punya anturium seperti menyimpan saham. Menjanjikan. Tetapi, kita tidak tahu kapan naik kapan turun," ungkap Chandra Gunawan Hendarto, pemilik Godongijo Nursery di Sawangan, Depok.

Gampang Dirawat

Anturium tergolong keluarga Araceae dan masih berkerabat dengan beberapa tanaman hias lain, seperti aglaonema, filodendron, dan alokasia.
Dalam habitat aslinya, anturium biasa hidup di dasar hutan tropis di sejumlah negara Amerika Latin dan Asia, termasuk Indonesia, di bawah rerimbunan pohon. Jumlah spesies asli anturium mencapai 700-1.000, belum lagi yang hasil persilangan. Tanaman ini tak tahan sinar matahari langsung, melainkan butuh tempat dengan kadar cahaya sekitar 30-40 persen. Masyarakat biasa memeliharanya di bawah jaring pengayom berukuran 60-70 persen.
Sebagian besar penggemar menanam anturium pada media akar pakis dan sekam bakar yang punya banyak rongga sirkulasi udara. Jika panas tinggi, kadang ditambah serabut kelapa yang menyerap air lebih lama. Tanaman disiram saat media kering, biasanya satu-dua hari sekali, tergantung cuaca.
"Anturium itu gampang dipelihara, bandel. Asal media tanam cocok dan perawatan benar, tanaman akan hidup," kata Ricky Hadimulya, penggemar tanaman hias asal Bogor. Memelihara anturium juga tidak butuh lahan luas, cukup di halaman rumah.
Meski begitu, anturium kadang mengalami busuk daun dan busuk batang yang dipicu kelembapan kelewat tinggi atau terlalu rendah. Jalan keluarnya, perlu dipertahankan kelembapan ideal, yaitu sekitar 60-80 persen.
Ada lagi serangan tikus, siput, ulat, kaki seribu, atau belalang. Cara mengatasinya, periksa tanaman secara rutin. Pemupukan cukup dengan pupuk kandang, humus, atau NPK, dengan kadar dan waktu yang tepat.
Anturium dikembangbiakkan lewat biji (generatif) atau stek (vegetatif). Setelah berumur sekitar tiga tahun, tanaman akan mengeluarkan bunga, biasa disebut tongkol. Jika sari tongkol jantan ditempelkan pada tongkol betina yang berlendir, terjadi pembuahan dan menghasilkan biji yang bisa disemai.
Stek dilakukan melalui batang atau mata tunas. Batang dipotong dengan menyertakan beberapa akar, kemudian ditanam pada media tumbuh baru. Perbanyakan lewat tunas dikerjakan dengan memotong mata tunas. (iam) Kompas, Minggu, 21 Oktober 2007

Pers NTT, perjalanan mati-hidup

Oleh Agus Sape

KALAU kita membolak-balik buku-buku sejarah pers nasional, mulai dari zaman kolonial sampai era Orde Baru, nyaris tidak disinggung tentang pers Nusa Tenggara Timur. Yang ada hanya sejarah pers di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan di Maluku (Ternate).
Dari ketiadaan informasi ini, orang bisa saja berkesimpulan bahwa tidak ada pers di NTT pada masa itu. Tidak terlalu salah kesimpulan itu. Tetapi, coba kita sedikit memperluas penelitian kita. Artinya, tidak hanya berpusat pada dokumen-dokumen atau buku-buku yang diterbitkan oleh negara atau lembaga swasta nasional.
Cobalah menelusuri sejarah perkembangan gereja di wilayah ini. Mengejutkan, gereja yang sudah masuk ke wilayah ini sejak masa kolonial memiliki dokumentasi yang lengkap mengenai berbagai hal yang terjadi, termasuk kehidupan pers di daerah ini.
Hanya memang harus diakui, penerbitan pers di NTT sejak masa kolonial secara nasional dilihat sebagai pers golongan. Jelasnya, pers yang berhaluan Kristen (Katolik). Media-media tersebut terbit sebagai sarana pewartaan gereja. Pemimpinnya hampir semua dari lembaga gereja.
Kendati demikian, dalam prakteknya tidak semata-mata hal-hal berbau gereja yang menjadi subyek pemberitaannya. Hal-hal umum berkaitan dengan kepentingan profan masyarakat pun menjadi perhatiannya.
Sejak masa kolonial masyarakat NTT sudah bisa membaca koran karena gereja pada waktu itu sudah mendirikan sekolah-sekolah. Di Larantuka sekolah putra dibuka pertama kali pada tahun 1862 diikuti sekolah putri pada tahun 1879. Di Maumere sekolah putra pertama dibuka tahun 1875, diikuti sekolah putri pada tahun 1882. Di Lela sekolah putra pertama tahun 1897 dan sekolah putri 1899. Di Ndona (Ende) sekolah putra dibangun pertama kali pada tahun 1915 dan sekolah putri 1920. Di Todabelu (Ngada) sekolah putra pertama dibangun tahun 1921 dan sekolah putri 1931. Di Ruteng sekolah putra pertama tahun 1921 dan sekolah putri tahun 1943. Di Lahurus (Belu-Timor) sekolah pertama tahun 1890 dan sekolah putri tahun 1921. Sekolah-sekolah ini antara lain mendidik masyarakat lokal untuk bisa membaca.
Karena itu, sebenarnya tidak ada alasan bagi pers nasional untuk mengabaikan fakta sejarah ini.
***
MAJALAH pertama Bintang Timoer terbit di Ende pada tahun 1925, dengan sub-judul: Soerat Boelanan Katolik yang Bergambar. Majalah ini diterbitkan oleh Serikat Sabda Allah (SVD/Societas Verbi Divini). Ukurannya 19 x 26,5 cm, tebal 16 halaman, bergambar dengan kulit khusus.
Majalah ini memberitakan pokok-pokok keagamaan, masalah-masalah pertanian, pendidikan, keluarga, dan sebagainya. Juga berita-berita daerah dan internasional.
Alamat redaksinya: R.K. Missie, Lela-Maumere, di bawah pimpinan P. Fries, SVD, kemudian dilanjutkan oleh P. F. Cornelissen, SVD.
Selama beberapa tahun Bintang Timoer dicetak di Percetakan Kanisius Yogyakarta (mulai 1925). Tapi, sejak tahun 1928 dicetak di Percetakan Arnoldus Ende. Percetakan ini pun milik SVD Ende.
Majalah Bintang Timoer tidak terbit lagi sejak Juni 1937. Faktor-faktor penyebabnya terutama kurangnya minat masyarakat dan sumbangan finansial. Sejak itu sampai dengan Indonesia merdeka nyaris tidak ada penerbitan di NTT.
Baru sesudah Perang Dunia II (1942-1945) diterbitkan dua mingguan Bentara dalam tahun 1946. Ukurannya, 25 x 32 cm, tebal 8 halaman, bergambar, tanpa kulit. Secara garis besar isinya sama seperti Bintang Timoer. Tapi, dalam perkembangannya muncul banyak tulisan mengenai perkembangan negara dan kehidupan masyarakat umum, di samping tulisan-tulisan bersifat agama (renungan-renungan).
Bersamaan dengan terbitnya Bintang Timoer, tahun 1925 terbit dalam bahasa Sikka majalah bulanan Kristus Ratu Itang. Ukurannya, 21 x 14,8 cm. Isinya, soal-soal agama, pokok-pokok sosial ekonomi, pendidikan, budaya dan sebagainya, berita-berita daerah dan juga dunia internasional. KRI lenyap bulan Desember 1938.
Pada tahun 1950-an, terbit majalah Bentara, yang dipimpin P. A. Conterius, SVD, kemudian oleh P. Markus Malar, SVD, dan akhirnya oleh Frans Tan. Sempat mencapai oplah 3.300, Bentara terbit sampai 1959, tak lama setelah terbentuknya Propinsi NTT dan sejumlah kabupaten pada akhir 1958.
Sejalan dengan Bentara diterbitkan majalah bulanan untuk anak-anak, Anak Bentara. Ukurannya, 21 x 14,8 cm, tebal 16 halaman, dihiasi gambar-gambar. Peredarannya mencakup seluruh Indonesia dengan oplah 35.000.
Yang banyak berjasa untuk Anak Bentara adalah P. G. Kramer, SVD bersama para siswa Seminari Mataloko. Sejak tahun 1961 Anak Bentara tidak terbit lagi.
Untuk para guru diterbitkan, majalah Pandu Pendidikan sejalan dengan sistem pendidikan Sekolah Pembangunan yang dicetuskan Menteri P dan K waktu, Mashuri. Pemimpin redaksinya berturut-turut, P. Cornelissen, P. Swinkels, P. Lambert Lame Uran. Pandu Pendidikan terbit sampai tahun 1959.
Menjelang pemberontakan Permesta pada tahun 1956/1957, di Ende terbit sebuah majalah Gelisah. Majalah ini dicetak di Percetakan Arnoldus Ende. Bagaimana kelanjutannya dan kapan berakhirnya tidak diketahui. Hampir pasti majalah itu berjalan tidak sampai tahun 1960.
Pada tahun 1960 terbit pula beberapa majalah yang berumur singkat: Ekonomi, Sebuk, Muda Katolik, Serbukin, Pemuda Penjaga (dari Manggarai). Untuk Flores, pemerintah daerah Flores menerbitkan Zaman Baru dan Sinar Sembilan.
Pada tahun 1960-an Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Comite Daerah Besar (CDB) menerbitkan Mingguan Pelopor di Kupang. Pelopor lahir mengikuti Instruksi Presiden ketika itu, supaya setiap partai politik memiliki terbitan sendiri. Mingguan Pelopor terbit dalam bentuk stensilan setebal 12 halaman, karena waktu itu belum ada percetakan di Kupang. Pelopor berhenti terbit pada tahun 1965, sejak penumpasan G30S/PKI.
Untuk mengimbangi Pelopor waktu itu, Petrus Kanisius Pari selaku aktivis Pemuda Katolik menerbitkan Mingguan Pos Kupang pada tahun 1962. Kopnya dicetak di Percetakan Nusa Cendana, selebihnya dalam bentuk stensilan. Majalah ini hanya terbit selama beberapa bulan.
Selanjutnya, pada tahun 1965, Kanis Pari menerbitkan Mingguan Kompas dalam bentuk stensilan. Tapi, umurnya cuma tiga bulan karena tidak mengantongi surat izin terbit (SIT) sendiri. Dia hanya menggunakan izin terbit Harian Kompas Jakarta. Pada akhir tahun 1965, Mingguan Kompas tidak terbit lagi.
SKM Dian
Sejak lahirnya Orde Baru yang sarat dengan tuntutan pembangunan, NTT praktis ketiadaan surat kabar. Informasi terutama berkaitan dengan pembangunan sepi. Terdorong oleh situasi demikian, maka pada tanggal 24 Oktober 1973 surat kabar Dian terbit berdasarkan Surat Izin Terbit (SIT) yang diperoleh melalui Keputusan Menteri Penerangan RI No. 01455/SK/DIRJEN-PG/SIT/1973, tanggal 6 Agustus 1973. Pada waktu itu Dian terbit sebagai majalah dua mingguan dengan ukuran 21 X 29 cm, setebal 12 halaman dan oplah 6.000 eksemplar. Pemimpin umum/pemimpin redaksinya, P. Alex Beding, SVD.
Dian diterbitkan oleh Yayasan St. Paulus di Ende, sebuah badan hukum milik Serikat Sabda Allah (SVD), yang bergerak di berbagai bidang kerasulan serikat tersebut, termasuk kerasulan komunikasi.
Sebagai sebuah surat kabar, Dian mempunyai visi sebagai pedoman bagi arah perjuangannya. Visi itu termaktub dalam motonya Membangun Manusia Pembangun. Dengan motto ini Dian menawarkan dirinya sebagai salah satu agen pembangunan (change agent) sumber daya manusia dalam lingkup pembacanya sekaligus agen pembangunan fisik dan sumber daya alam dalam lingkungan penyebarannya.
Sesuai dengan moto di atas dan searah dengan tujuan pers Indonesia sebagai alat perjuangan nasional dan media yang bersifat aktif, dinamis, kreatif, informatoris dan mempunyai fungsi kemasyarakatan sebagai pendorong dan pemupuk daya pikir kritis dan progresif yang meliputi segala perwujudan kehidupan masyarakat, Dian terbit sebagai upaya gereja setempat (dalam hal ini Serikat Sabda Allah--SVD) untuk melibatkan diri secara langsung dalam upaya pembangunan mental-rohani dan ekonomi masyarakat pembacanya.
Selain itu, Dian secara sadar hadir sebagai alat kontrol sosial dalam upaya pembangunan sikap politik sesuai dengan asas dan semangat Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila demi penegakan hukum, kebenaran dan keadilan serta perdamaian.
Singkatnya, Dian bertujuan untuk menjadi partner pemerintah dan gereja dalam upaya meningkatkan mutu hidup manusia menuju pembangunan manusia seutuhnya (integral human development).
Dalam kerangka itu sejak awal Dian sudah secara konsisten menyebarkan informasi-informasi yang berdampak positif bagi pembangunan manusia seutuhnya itu, yang meliputi bidang politik, ekonomi, keagamaan, hukum, keamanan dan ketertiban, keadilan dan perdamaian, serta hak dan tanggung jawab manusia sebagai warga suatu bangsa dan negara, termasuk tanggung jawab di bidang IPTEK.
Setelah sekian tahun diterbitkan oleh Yayasan St. Paulus, pada tahun 1986 penerbitannya dialihkan kepada Yayasan Dian yang juga mengelola majalah bulanan untuk anak-anak, Kunang-Kunang. Pada akhir tahun 1986, Dian maju selangkah lagi. Ia mulai terbit berdasarkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) No. 218/SK/Menpen/SIUPP/B.1/1986, tertanggal 2 Desember 1986. Oleh karena itu, Dian merasa perlu mengubah bentuk dan wajahnya. Sejak Januari 1987, Majalah Dua Mingguan Dian berubah menjadi Surat Kabar Mingguan (SKM) Dian dalam bentuk tabloid berukuran 29,5 X 43 cm, setebal 12 halaman. Sejak saat itu, SKM Dian selalu terbit secara teratur sekali seminggu. Dalam setahun sesuai dengan jadwal, Dian selalu berhasil terbit sebanyak 48 nomor (edisi). Pada pertengahan tahun 1993, SKM Dian terbit dengan 16 halaman. Tetapi sejak minggu terakhir Juli 1995, akibat melonjaknya harga kertas, Dian kembali terbit dengan 12 halaman.
Dian senantiasa bekerja sama dengan pemerintah dalam upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya. Sikap ini mendapat tanggapan positif dari pemerintah karena pada dasarnya pers merupakan sarana pemerintah dalam menyebarluaskan berbagai gagasan pembangunan.
Pada tahun 1986, Dian dipercayakan oleh pemerintah RI untuk terlibat dalam program nasional Koran Masuk Desa (KMD) dengan tujuan utama membangun dan mengembangkan masyarakat desa lewat jasa pers.
Program KMD ini terwujud dalam bentuk penerbitan lembaran khusus sebanyak empat halaman yang diterbitkan sebagai suplemen dengan kop Dian untuk Desa.
Lewat program ini misi Dian untuk membangun manusia pembangun semakin dipertajam oleh penyebaran berbagai informasi pembangunan lewat rubrik-rubrik pedesaannya, seperti teknologi tepat guna, kampanye lingkungan sehat, pendidikan keterampilan dan sebagainya.
Sejalan dengan tujuan Dian, sasaran misi Dian adalah masyarakat desa yang terdiri dari petani/nelayan dan para pejabat desa. Sasaran lain adalah kaum muda yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, dan pemuda remaja lepas sekolah. Kecuali itu, juga para pengusaha kecil dan wiraswasta, para guru dan pegawai dan terutama pemerintah sebagai agen pembangunan dalam jalur formal. Semua pembaca tersebut tersebar di seluruh wilayah NTT dan di tempat-tempat di mana terdapat orang-orang asal NTT. Oplah Dian sempat mencapai 7500 eksemplar per edisinya.
Posisi Dian mulai tergeser sejak lembaga yang sama menerbitkan Harian Flores Pos pada tanggal 9 September 1999, berdasarkan SIUPP No. 169/SK/Menpen/SIUPP/1999, tanggal 19 Agustus 1999. Dian yang biasanya terbit pada setiap hari Jumat bergeser ke hari Minggu sampai sekarang. Penampilan dan penyajiannya pun banyak berubah, nyaris menjadi edisi Minggu-nya Harian Flores Pos. Bedanya hanya ada kop Dian.
Terbitan lain SVD adalah Berita Regio Ende (BRE), Pastoralia dan Vox (Seminari Tinggi Ledalero). Pada tahun 173, Keuskupan Agung Ende juga menerbitkan Penyalur Berita Dioses. Sementara Keuskupan Larantuka menerbitkan Warta Dioses Larantuka.
Mingguan Kupang Post
Atas dorongan Gubernur NTT El Tari, pada tanggal 5 Desember 1977 terbit Mingguan Kupang Post di Kupang. Dicetak di Percetakan Arnoldus Ende setebal empat halaman. Isinya menyangkut hal-hal umum berkaitan dengan kebijakan pemerintah daerah dan kepentingan masyarakat. Kupang Post terbit atas rekomendasi Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Penerangan (Deppen) NTT dan surat izin terbit (SIT) dari Menteri Penerangan RI. Pemimpin redaksinya Damyan Godho yang pada waktu itu juga wartawan Harian Kompas Jakarta untuk wilayah NTT.
Ketika Damyan berhenti sebagai Pemred pada tahun 1978, pengelolaan Kupang Post diteruskan oleh Kanwil Deppen NTT. Namun karena pengelolaan yang tidak profesional, Kupang Post berhenti terbit sekitar tahun 1983/1984.
Pada tahun 1980-an, Yayasan Karya Sosial (YKS) Maumere menerbitkan Majalah Duta Masyarakat sampai awal 1990-an. Sementara di Kupang, sejak matinya Kupang Post, nyaris tidak ada terbitan. Masyarakat hanya bisa membaca Majalah Dian dan sejumlah surat kabar harian terbitan Jakarta, seperti Kompas, Suara Karya, Sinar Harapan, Media Indonesia, Majalah Tempo, Mingguan Hidup dan Bali Post. Media-media ini juga menempatkan wartawannya di NTT, yang secara rutin mengirim berita-berita menyangkut NTT ke kantor redaksinya.
Kendati demikian, pemerintah senantiasa mendorong supaya ada media cetak lokal di Kupang. Maka, pada tahun 1987 Menteri Penerangan RI Harmoko mendirikan Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Kupang. Maksudnya, untuk mendorong tumbuhnya media cetak lokal di Kupang. Harmoko bahkan sempat mendorong Damyan Godho, namun hal itu tidak segera terwujud karena terbatasnya modal dan wartawan.
Sampai pada tahun 1992, NTT tercatat sebagai salah satu dari enam propinsi yang belum memiliki media cetak harian. Karena itu Harmoko sekali lagi mendorong Damyan Godho dengan memberi kemudahan memperoleh SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), sehingga terbitlah Harian Pos Kupang pada tanggal 1 Desember 1992. Harian Pos Kupang didirikan bersama oleh Damyan Godho, Valens Goa Doi dan Rudolf Nggai, berdasarkan SIUPP No: 282/SK/Menpen/SIUPP/A.6/1992, tanggal 6 Oktober 1992.
Sejak itu ketiga orang ini mulai mengumpulkan orang-orang NTT, baik untuk menjadi wartawan maupun menjadi pengelola bisnisnya. Harian Pos Kupang tercatat sebagai harian pertama dalam sejarah NTT dengan peredaran menjangkau semua kabupaten yang ada.
Untuk mengatasi kesulitan distribusi akibat kondisi NTT sebagai daerah kepulauan, pada tahun 1998 Pos Kupang melaksanakan cetak jarak jauh di Percetakan Arnoldus Ende untuk melayani pembaca di seluruh Flores dan Lembata. Namun pada tahun 2000, Pos Kupang berhenti cetak jarak jauh di Ende lalu mulai dengan cetak jarak jauh di Maumere menggunakan mesin cetak sendiri. Hal yang sama dilakukan di Ruteng sejak November 2003 sampai sekarang, untuk melayani pembaca di Manggarai, Manggarai Barat dan Ngada. Sejak tahun 1997, Pos Kupang juga menjadi media elektronik yang bisa dibaca melalui internet di seluruh dunia.
Krisis ekonomi pada tahun 1997 menjadi tantangan tersendiri bagi Pos Kupang. Kenaikan harga material cetak yang sangat tajam ketika itu sempat membuat Pos Kupang seperti kapal yang sedang dihempas gelombang hebat. Tapi, Pos Kupang berhasil melewati tantangan itu, bahkan boleh dibilang tantangan membuat Pos Kupang semakin matang. Pos Kupang semakin maju. Pada tahun 2006 Pos Kupang menerima penghargaan sebagai salah satu dari 10 koran terbaik nasional pada tahun 2005 menurut penilaian Dewan Pers.
***
Eforia yang dialami sebagian besar masyarakat Indonesia sejak kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998 juga dialami pers. Terlebih setelah Menteri Penerangan Junus Josfiah mencabut semua ketentuan era Orde Baru yang menghambat kebebasan pers, diikuti pengesahan Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers.
Meskipun negara sedang dilanda krisis ekonomi, gairah masyarakat untuk mendirikan penerbitan pers tidak surut. Hanya dalam dua pekan sejak ketentuan baru diberlakukan, Deppen sudah mengeluarkan 20 SIUPP baru. Hingga tanggal 15 April 1999 jumlah SIUPP baru meningkat lagi menjadi 852, selanjutnya terus meningkat hingga ribuan penerbitan.
Eforia itu juga menggerakkan orang-orang di NTT untuk mendirikan penerbitan pers. Pada tanggal 29 April 1999, sejumlah wartawan yang hengkang dari Harian Pos Kupang mulai menerbitkan Harian Umum Surya Timor di Kupang. Tebalnya 12 halaman. Eforia reformasi mewarnai kehadiran media ini. Selain terungkap dalam motonya, Suara Masyarakat Indonesia Baru, juga terlihat dalam isi, gaya pemberitaan serta cara-cara memperoleh informasi yang benar-benar bebas.
Harian Surya Timor terbit berdasarkan SIUPP No:1114/SK/Menpen/SIUPP/1999, tanggal 23 Maret 1999. Pemimpin umumnya, Servatius Djaminta, pemimpin redaksi, Wens John Rumung, redaktur eksekutif, Alex Dungkal, dan redaktur pelaksana, Fredy Wahon.
Namun, segera pula terasa bahwa mengelola media baru di era reformasi tidak gampang. Baru berjalan dua tiga tahun Surya Timor tampaknya tidak bisa bertahan di Kupang. Sejumlah wartawan yang diandalkan pun hengkang. Pada tahun 2001, redaksi Surya Timor pindah ke Maumere, Kabupaten Sikka. Namanya pun berubah menjadi Surya Flores, kemudian pindah lagi ke Ruteng, Kabupaten Manggarai. Sekarang Surya Timor/Surya Flores tinggal nama.
Pada saat yang bersamaan Harian Pos Kupang menerbitkan tabloid mingguan Kompak. Tapi juga tidak bertahan lama. Orang-orang yang hengkang dari Surya Timor kemudian ada yang mendirikan Harian Independen NTT Ekspres, ada juga yang mendirikan Harian Suara Timor dan Metro Kupang. NTT Ekspres terbit berdasarkan SIUPP No: 1563/SK/MENPEN/SIUPP/1999, tanggal 3 Agustus 1999, dengan moto, Aktual, akurat dan tuntas berlandaskan kasih. NTT Ekspres diterbitkan oleh Yayasan Lentera Kehidupan. Pemimpin umumnya, Ir. Alex Foenay, pemimpin redaksi: Hans Christian Louk, pemimpin perusahaan, Decky Budianto, redaktur pelaksana, Paul Bolla, dan manajer produksi, Anna Djukana. Terbit dengan 12 halaman tujuh kolom, NTT Ekspres pun menghilang dari peredaran sekitar 2002/2003.
Pada tahun 1999 juga terbit Harian Sasando Pos. Pemimpin redaksinya Pius Rengka dan redaktur pelaksana Yos Lema. Harian ini coba tampil sebagai koran ekonomi bisnis di Kupang, tapi juga tidak bertahan. Dalam satu sampai dua tahun saja, Sasando Pos hilang dari peredaran.
Pada tahun 2000 terbit Harian Umum Radar Timor di Kupang. Terdaftar di Pengadilan Negeri Kupang Nomor 65/AN/YS, tanggal 21 Agustus 2000. Motonya, kritis, objektif dan rasional. Pemimpin umumnya, H. Maria Pinto Soares, pemimpin redaksi Fredy Wahon. Terbit 12 halaman dengan ukuran tabloid. Kehadirannya cukup menyaingi Harian Pos Kupang, tetapi akhirnya menghilang sekitar tahun 2004/2005.
Beberapa staf redaksi yang hengkang dari Radar Timor mendirikan Harian Kupang News pada akhir 2003 atau awal 2004.
Pada tahun 2001/2002 terbit pula Harian Cendana Pos di Kupang. Pemimpin umumnya, Drs. Valentinus Seran, pemimpin redaksi, Cyriakus Kiik, dan koordinator liputan Yesayas Petruzs. Tapi tidak bertahan juga, lalu Cyriakus Kiik mendirikan Harian Suara Masyarakat sekaligus menjadi pemimpin redaksinya.
Ketika Harian NTT Ekspres menghilang pada akhir tahun 2002 atau awal tahun 2003, Ana Djukana langsung beralih dengan mendirikan Harian Kursor sekaligus bertindak sebagai pemimpin umum/pemimpin redaksinya. Kursor terdaftar di PN Kupang No. 1/AN/PMT/LGS/2003/PN Kupang, tanggal 21 Maret 2003, dan mulai terbit 1 April 2003. Kursor masih terbit hingga saat ini. Semboyannya, Untuk Keadilan dan Kesetaraan. Fokus pemberitaannya, Kota Kupang dan kesetaraan jender.
Pada pertengahan tahun 2003 juga di Kupang terbit Harian Pagi Timor Express (Jawa Pos Group). Timor Express terbit 16 halaman berwarna masing-masing pada halaman muka dan belakang. Pada tahun 2007, Timor Express merayakan hari ulang tahun (HUT) keempat dan tampaknya akan terus berkembang dan menjadi penyaing berat Harian Pos Kupang. Pemimpin redaksi/penanggung jawabnya, Yusak Riwu Rohi, dan redaktur pelaksana, Simon Petrus Nilli.
Masih banyak lagi media yang terbit pada masa reformasi. Selain harian, banyak juga yang terbit mingguan dan bulanan, baik di Kupang maupun di daerah-daerah.
Contohnya Mingguan Berita Rote Ndao Pos, yang terdaftar di PN Kupang No. 18/AN/YS/LGS/R001/PN.Kpg, tanggal 14 Maret 2001. Dicetak di PNRI Kupang, mingguan ini terbit mulai 2002 dan masih terbit sampai sekarang. Pemimpin redaksi/penanggung jawabnya, Kanis Mone SP, redaktur pelaksana, Mixcris Seubelan.
Juga pernah terbit tabloid mingguan Swara Lembata (cover depan berwarna) mulai 20 Desember 2001, setebal 12 halaman. Alamat redaksinya di Lewoleba, Kabupaten Lembata. Mulai April 2006 Swara Lembata tidak terbit lagi.
Media cetak lainnya adalah tabloid mingguan Flotim Pos/Asas, mingguan Suara Flobamora (Kupang), Duta Flobamora (Waingapu), Sinar Alor Pos (Kalabahi), Ngada Pos (Kupang), Udik (Kupang), Duta Flobamor (Kupang), Alor Pos (Kalabahi), Saksi (Kupang), Marturia (Kupang), Suara Selatan Daya (Kupang), Media Entete (Kupang), Sabana (Waikabubak), Global (Atambua), Buser Timur, Expo Lamaholot (Kupang), Belu Pos (Atambua), Gelora Info (SoE), Bentara (Kupang), Talenta (Kupang), Solusi (Kefamenanu), Lontar (Kupang), Delegasi (Lewoleba), Start Sport (Kupang), Asmara (Kupang), Wunang Pos (Waingapu), Media Info (Larantuka), Biinmaffo (Kefamenanu), Media Rakyat (Ruteng), Tamsis (Kupang), dan yang terakhir mingguan Spirit NTT, yang merupakan kerja sama Harian Pos Kupang dengan sejumlah Pemda di NTT.
Tabloid yang terbit mingguan di NTT umumya berumur pendek. Selain karena tidak didukung modal yang cukup kuat, media-media ini umumnya kalah bersaing atau kurang diminati pembaca. Setelah satu media berhenti terbit, personelnya menerbitkan media baru dengan pemodal yang baru pula.
Namun, satu hal positif yang bisa diambil dari muncul tenggelamnya usaha media cetak di NTT bahwa ternyata orang memiliki jiwa perintis dan minat besar dalam bidang pers. Semangat ini bukan hal baru dalam lintasan sejarah NTT. Hanya di masa lalu para perintis itu terbentur dengan keterbatasan fasilitas.
Tidak hanya di NTT, wartawan NTT juga banyak merintis penerbitan pers nasional. Gerson Poyk dikenal sebagai perintis berdirinya Harian Sinar Harapan pada tahun 1960-an sekaligus menjadi wartawan andalan. Drs. Frans Seda adalah orang yang berada di balik berdirinya Harian Umum Kompas. Aco Manafe, selain menjadi wartawan Sinar Harapan sejak tahun 1968, juga menjadi perintis berdirinya Harian Sore Suara Pembaruan tahun 1989.
NTT juga masih punya nama-nama seperti Petrus Kanisius Pari (Indonesia Raya, Penabur), Hendrik Ola Hadjon (Asas, terbit di Surabaya), Pius Karo (Harian Kompas), Damyan Godho (Kompas), Louis Taolin (Suara Karya), Marcel Weter Gobang (Suara Karya, Surya, Pos Kupang), Cypri Aoer (Suara Pembaruan).
Saat ini pun sejumlah orang NTT tampil sebagai pemimpin media-media terkemuka di Jakarta: Rikard Bagun (Kompas), Piter Gero (Kompas), Cyrilus Kerong (Bisnis Indonesia), Laurens Tato (Media Indonesia), Hermin Kleden (Tempo), , Claudius Boekan (Metro TV), dan masih banyak lagi.
Kehadiran media dan wartawan di NTT akan terus dibutuhkan untuk mendorong pembangunan. Harus diakui masih banyak keluhan mengenai kualitas wartawan di daerah ini. Menjadi tugas perusahaan media dan para wartawan sendiri untuk membenahi diri sehingga kualitasnya semakin baik.
Tidak hanya di media cetak, orang NTT pun harus mulai melirik media elektronik, seperti radio, televisi dan terlebih internet (media online). Media online diramalkan bakal menggeser posisi media cetak.Untuk itu, tidak ada cara untuk bisa menggapainya, selain belajar dan belajar.*

Sumber-sumber:
1. Suryomiharjo, Abdurrachman, dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Januari 2002.
2. Suranto, Hanif, dkk, Pers Indonesia Pasca Soeharto Setelah Tekanan Penguasa Melemah (Laporan Tahunan 1998/1999), LSPP dan AJI, 1999.
3. Haryanto, Ign dan Setiawan, HW, Pers Diterpa Krisis, AJI dan LSPP, April 1998.
4. Daros, Henri, Karya SVD di Bidang Komunikasi dalam Dalam Terang Pelayanan Sabda (Kenangan Tujuh Puluh Lima Tahun Karya SVD di Indonesia, Provinsi SVD Ende, 1990.
5. Sape, Agustinus, Ketidakadilan Dalam Perspektif 'Asal Omong' Dian (Skripsi), STFK Ledalero, 1996.
6. Godho, Damyan, wawancara, Kupang, 18 Juli 2007.
7. Embuiru, Dr. Herman, SVD, Menelusuri Pendidikan di NTT (Refleksi Sejarah dalam Perspektif Katolik) dalam Perspektif Pembangunan, Dinamika dan Tantangan Pembangunan Nusa Tenggara Timur, Yayasan Citra Insan Pembaru Kupang, 1994.

Biodata penulis:
Nama : Agustinus Sape
TTL : Cumpe, Manggarai, 4 September 1968
SD: SDK Golo (1978-1984)
SMP: Seminari Pius XII Kisol (1984-1987)
SMA: Seminari Pius XII Kisol (1987-1990)
PT : Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (1991-1996)
Pengalaman Kerja: Wartawan Pos Kupang (1997-sekarang)

Hanya bermodal semangat

Oleh Damyan Godho

Curriculum vitae:
* Nama : Damyan Godho
* TTL : Boawae, 25 Maret 1945
* SR Boawae, 1957
* SMP Kota Goa, Boawae, 1960
* SGA Ndao-Ende, 1963
* Pernah kuliah di IKIP Malang Cabang Kupang, Fakultas Hukum Berdikari (cikal bakal Fakultas Hukum Undana), tapi drop out.
* Guru SD Frater Merdeka Kupang (1963)
* Bekerja di Perusahaan Daerah Perdagangan NTT (1966)
* Jadi loper koran (1967-1968)
* Kontraktor Bangunan (1969)
* Pernah jadi pedagang ternak kecil-kecilan
* Wartawan Kompas (1975)
* Pemimpin Redaksi Mingguan Kupang Post (1977)
* Mendirikan/menerbitkan SKH Pos Kupang sekaligus menjadi pemimpin redaksi (1992)
* Setelah merger dengan KKG, menjadi Direktur PT Timor Media Grafika (1995-sekarang)
* Sampai sekarang Pemimpin Umum SKH Pos Kupang
* Moto: Percaya diri, peduli sesama dan jujur
Pengalaman organisasi:
* Anggota PMKRI Cabang Kupang (1963), beberapa kali menjadi pengurus PMKRI (1965)
* Ketua KAMI Konsulat NTT (1967)
* Anggota panitia persiapan pembentukan Kabupaten Nagekeo (1967)
* Aktif di Partai Katolik (1967), lalu menjadi pengurus Komisariat Daerah NTT (1969)
* Aktif di Partai Demokrasi Indonesia (1973), dan menjadi salah satu Wakil Ketua DPD PDI (1976-1982)* Ketua Cabang PWI NTT (1997-sekarang)

PADA tanggal 1 Desember 2007 ini, usia Surat Kabar Harian Pos Kupang genap 15 tahun. Pada momen penting ini, saya bersama seluruh karyawan patut memadahkan syukur kepada Tuhan dan terima kasih kepada para pembaca. Berkat campur tangan Tuhan dan dukungan para pembaca, surat kabar ini bisa bertahan dan mencapai kondisi seperti saat ini.
Ketika merencanakan penerbitan Harian Pos Kupang 15 tahun lalu, kami tidak punya apa-apa. Modal dan kemampuan manajerial untuk mengurusi surat kabar kami tidak punya. Yang kami punya cuma semangat.
Meskipun sudah mengalami banyak kemajuan, harapan yang kami bentangkan dalam visi dan misi ketika mendirikan surat kabar ini sampai saat ini belum terwujud. Visi dan misi Pos Kupang terkait erat dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yaitu terciptanya masyarakat NTT yang memiliki budaya baca dan akses terhadap informasi.
Semua kita tahu berapa persen warga atau kepala keluarga (KK) di NTT yang suka membaca. Rasanya belum sampai 5 persen. Sebagai orang komunikasi yang percaya bahwa membaca itu penting, saya harus katakan bahwa upaya mencerdaskan bangsa itu masih sangat jauh dari harapan.
Kendati demikian, kami harus menggelutinya. Kami harus menghadapi perjuangan yang sangat berat, sebab mau tidak mau usaha ini bersentuhan dengan bisnis. Kalau masyarakat tidak bisa atau tidak mau membeli koran, bagaimana usaha ini bisa hidup dan berkembang? Perjuangan itulah yang kami rasakan selama ini.
Pos Kupang didirikan oleh tiga orang, yaitu Valens Goa Doy, Rudolf Nggai, dan saya sendiri. Valens Doy menangani bagian redaksi, Rudolf Nggai menangani percetakan. Sedangkan saya mengurusi hal-hal di luar yang diurus kedua orang ini.
Inisiatif mendirikan Harian Pos Kupang bermula pada tanggal 12 April 1992. Pada waktu itu saya sebagai wartawan Kompas di NTT bertemu Harmoko di Bajawa, Kabupaten Ngada. Harmoko datang dalam kapasitas sebagai Ketua Umum DPP Golkar dan Menteri Penerangan RI. Bersama dengan Ansel da Lopez (wartawan Kompas) dan disaksikan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Departemen Penerangan (Deppen) NTT, ... Sinuraya, Harmoko menantang saya untuk mendirikan koran di NTT. Dia berjanji akan memberikan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Sebagai Menpen, Harmoko ingin paling kurang di setiap ibu kota provinsi ada koran harian. Waktu itu hanya ada Surat Kabar Mingguan (SKM) Dian yang terbit di Ende. Saya sendiri pun pernah mendirikan Mingguan Kupang Post pada tahun 1977, tapi mingguan ini tidak bertahan lama karena keterbatasan dana dan lemahnya manajemen.
Ketika mendapat tantangan Harmoko itu, saya langsung menyatakan siap mendirikan koran harian. Saya pun langsung menghubungi Valens Goa Doy (Direktur Kelompok Persda- KKG), yang sudah merintis pendirian enam koran daerah di bawah Kelompok Kompas Gramedia (KKG/Persda) dari Sabang sampai Merauke. Dia turut mendirikan Harian Serambi Indonesia di Banda Aceh, Harian Sriwijaya Post di Palembang, Harian Bernas di Yogyakarta, Harian Surya di Surabaya, Tifa Irian di Jaya Pura, dan Post Maluku di Ambon.
Valens sebagai orang NTT memang sudah lama merindukan agar di NTT ada koran harian. Begitu saya kontak, dia spontan datang, mengurus segala persiapan untuk mendirikan koran ini. Karena itulah, saya tidak habis-habisnya berterima kasih kepada Valens (almarhum), karena tanpa dia tidak mungkin Pos Kupang ada.
Pada saat dia tiba di Kupang, kami langsung memulai proses pengurusan SIUPP. Waktu itu lebih dari 10 persyaratan administratif harus kami penuhi untuk penerbitan SIUPP. Kami bertiga (Valens, Rudolf dan saya) juga menghadap notaris untuk mengurus pendirian PT yang sampai saat ini disebut PT Timor Media Grafika. Pada tanggal 12 Juli 1992, kami mengajukan permohonan SIUPP kepada Direktorat Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (PPG), Departemen Penerangan RI. Saya sendiri yang mengurusnya di Jakarta. Sebagai orang Kompas, saya mendapat izin dari Jacob Oetama untuk mendirikan koran di daerah ini dengan status tetap sebagai wartawan Kompas. Ketika saya bertemu Pak Jacob Oetama pada bulan Juli 1992, beliau mengatakan, "Bung, coba- cobalah!" Artinya, mudah-mudahan jalan. Padahal saya berharap Kupang mendapat perhatian seperti koran-koran daerah lainnya yang didirikan Kompas waktu itu. Tapi, saya bisa memahami kebijakan ini karena dari sudut bisnis NTT belum menguntungkan.
Karena berbagai kesibukan Harmoko, SIUPP No: 282/SK/Menpen/SIUPP/A.6/1992 tanggal 6 Oktober 1992 itu baru kami terima pada tanggal 12 Oktober 1992. Saya dan Valens yang menerima SIUPP itu. Begitu mendapatkan SIUPP, Wens John Rumung langsung melamar dari Jakarta untuk menjadi wartawan Pos Kupang. Namun mendapatkan SIUPP tidak otomatis semuanya langsung bisa dimulai. Kami masih harus merekrut wartawan. Pius Rengka, ketika itu sebagai dosen Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang yang juga aktif sebagai koresponden SKM Dian, mulai bergabung dengan kami. Dialah yang menangani perekrutan wartawan dan tenaga-tenaga lainnya. Untuk mendapatkan tenaga-tenaga itu, kami mengumumkan melalui radio. Alhasil, sebanyak 300-an orang mengajukan lamaran.
Pada tanggal 1 November 1992, kami mulai mengadakan pelatihan wartawan selama dua minggu. Pelatihan dimulai dari jam 08.00 pagi sampai jam 12.00 malam, melelahkan. Valens Goa Doy bertindak sebagai instruktur tunggal. Hasil dari pelatihan itu, beberapa orang masih bertahan di Pos Kupang sampai saat ini, seperti Dion DB Putra, Beni Dasman, Paul Burin, Ferry Jahang dan Mariana Dohu. Itu juga makanya sejumlah wartawan di sini merasa begitu dekat dan menyebut Valens guru.
Untuk perekrutan, kami juga meminta bantuan Sinode GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor). Kami bertemu dengan Pdt. Dr. A. A. Yewangoe sebagai Rektor Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang untuk membantu rekrut tenaga. Sinode menanggapinya dengan mengirim enam sarjana lulusan Fakultas Theologia UKAW, di antaranya Eben Nuban Timo, Esther Gah, dan Mesakh Dethan. Mereka juga mengikuti pelatihan wartawan angkatan pertama.
Kami juga merekrut loper. Tapi karena mereka menganggap menjual koran sebagai pekerjaan hina, mereka menjual dengan menyembunyikan koran dalam kantong plastik. Mereka malu- malu. Padahal pada tahun 1966-1967, saya menjadi loper Harian Kompas di Kupang. Waktu itu saya sedang menjadi anggota DPRD GR Propinsi NTT. Sehabis sidang DPRD, saya langsung pergi ke Kantor Pos untuk mengambil koran lalu menjualnya. Karena itu bisa dimengerti kalau sampai sekarang orang-orang Kupang masih mengenal saya sebagai loper Kompas.
Setelah melalui tiga kali menerbitkan nomor percobaan, pada tanggal 1 Desember 1992 Pos Kupang secara resmi terbit enam hari seminggu dengan 12 halaman. Bentuknya tabloid berukuran 41 X 30 cm, disesuaikan dengan kemampuan mesin cetak milik Rudolf Nggai. Motonya, Suara Nusa Tenggara Timur.
Pada waktu kami mempersiapkan percetakan, kami diberi tempat oleh Rudolf Nggai di bangunan reyot berdinding bebak, yang sebenarnya warung. Di bangunan tersebut tidak ada WC. Kami hanya diperlengkapi dengan empat unit komputer tua yang tiada hari tanpa ngadat (hang).
Saya harus mengambil komputer, meja dan rak di rumah saya, dibawa ke kantor. Wartawan harus bekerja antre dengan dukungan perangkat kerja telex Antara dan jaringan koran daerah KKG (Persda). Meski demikian, di tempat itu jugalah kami dikunjungi Harmoko pada tahun 1993.
Begitu mulai terbit, kami langsung menghadapi masalah baru yang sifatnya sangat politis. Kehadiran Pos Kupang tidak begitu saja diterima. Muncul banyak sinisme yang menganggap penerbitan Pos Kupang sebagai pekerjaan orang gila. Gila karena kami tidak punya apa-apa, tetapi berani menerbitkan koran, apalagi mengklaim sebagai Suara Nusa Tenggara Timur.
Masalah lainnya berkaitan dengan figur Valens dan saya yang memang pernah berkecimpung di partai politik. Muncul banyak kecurigaan bahwa Pos Kupang terbit untuk memenuhi kepentingan politik kami berdua. Apalagi Pos Kupang hadir menjelang suksesi gubernur NTT waktu itu. Tantangan itu kami hadapi dan menganggapnya sebagai hal wajar.
Tantangan yang lebih serius justru datang dari dalam diri Pos Kupang sendiri. Sarana kerja yang serba terbatas. Bagaimana membuat masyarakat NTT menjadikan koran sebagai salah satu dari sepuluh kebutuhan pokoknya; suatu upaya yang tidak gampang berhadapan dengan kebiasaan orang NTT yang kurang gemar membaca. Bahkan sampai dengan usia 15 tahun ini, masalah yang tidak pernah terselesaikan dalam perusahaan ini adalah masalah etos kerja, disiplin yang memprihatinkan, sikap mapan, puas dengan apa yang ada, lemahnya spirit dari setiap karyawan untuk membangun cakrawala baru.
Sebagai pendiri dan sebagai pemimpin umum, kadang-kadang saya sedih menyaksikan sejumlah orang yang tidak mau berubah. Mereka tidak sadar bahwa menghadapi perubahan di luar yang begitu cepat dan tak terduga membutuhkan kesadaran dari setiap karyawan di dalam perusahaan ini.
Harus disadari bahwa posisi Pos Kupang saat ini tidak lagi seperti ketika dia pertama kali hadir pada tahun 1992. Kalau pada tahun 1992, Pos Kupang satu-satunya koran harian di daerah ini, maka ketika memasuki era reformasi posisi itu langsung berubah. Pos Kupang hanya salah satu di antara sekian banyak media baru yang bermunculan. Kehadiran media-media ini juga sebenarnya terinspirasi oleh kehadiran Pos Kupang. Sejak tahun 1992, Pos Kupang menjadi semacam persemaian wartawan dan pekerja-pekerja media di Indonesia. Tercatat sebanyak 198 orang pernah bekerja di Pos Kupang, 98 orang di antaranya wartawan, sekarang bekerja di mana-mana di seluruh Indonesia. Bahkan ada yang menjadi pemimpin media baru, baik di NTT maupun di Jakarta. Ada yang menjadi politisi (anggota DPRD, wakil bupati) dan aktivis LSM. Ada juga yang bekerja sebagai PNS. Akan tetapi, semua itu belum membuat Pos Kupang cukup bangga karena visi Pos Kupang adalah membentuk masyarakat NTT yang gemar membaca.
Mengembangkan Pos Kupang pada tahun-tahun awal tidak gampang. Selain berhadapan dengan kurangnya minat baca di semua lapisan masyarakat NTT dan daya beli yang rendah, kondisi wilayah NTT yang berpulau-pulau sungguh menjadi masalah yang sangat berat. Yang jelas usaha surat kabar juga bisnis. Dia harus dikembangkan secara bisnis. Tetapi kenyataan yang kami hadapi bahwa kami tidak punya pasar. Kami juga tidak meminta bantuan pemerintah daerah (Pemda). Pasar itu kami kembangkan sendiri. Jadi bisa dibayangkan betapa beratnya mengembangkan usaha koran di NTT.
Untuk mendistribusi koran ke daerah-daerah (Flores, Sumba dan Alor), kami menggunakan jasa pesawat terbang setiap hari. Itu pun kami tetap menghadapi kendala. Selain sering tidak terangkut, koran yang kami distribusi hanya bisa menjangkau ibukota-ibukota kabupaten.
Kami juga sempat mendistribusikan Pos Kupang ke Bali, Jawa Timur dan Jakarta. Untuk mendukung pemberitaan kami juga menugaskan wartawan ke daerah-daerah tersebut. Tapi kemudian terasa bahwa upaya ini tidak efisien. Karena itu, kami hanya berkonsentrasi pada pengembangan di wilayah NTT.
Oplah kami awalnya mencapai 3.000-an. Kondisi itu bertahan sampai tahun 1995; suatu tingkat oplah yang tidak memungkinkan untuk keberlangsungan suatu usaha penerbitan pers. Jangankan bisa maju, bertahan pun tidak. Pendapatan kami semata-mata dari hasil penjualan koran. Iklan waktu itu sama sekali belum ada. Iklan kami baru mulai tumbuh pada saat kami memuat iklan dari Toko Tiflos. Namun tetap saja sampai saat ini penghasilan kami dari iklan belum ideal sebagai salah satu sumber penghasilan di perusahaan penerbitan pers. Penghasilan kami masih didominasi oleh penjualan koran; suatu usaha koran yang sebenarnya tidak sehat.
"Sonde usah pakai iklan ju, orang tahu," begitu jawaban para pengelola toko di Kupang ketika petugas iklan Pos Kupang menawarkan jasa pemasangan iklan kepada mereka. Dalam tiga tahun pertama Pos Kupang jatuh bangun. Tak satu pun bank yang percaya pada Pos Kupang ketika mengajukan permohonan kredit karena usaha ini dianggap tidak memiliki prospek masa depan.
Kami benar-benar mengalami krisis pertama pada tahun 1994. Kami tidak punya apa-apa lagi karena manajemen yang kurang baik. Kami mencatat piutang yang tidak tertagih sebanyak Rp 1,7 miliar. Kami menurunkan orang-orang untuk melakukan penagihan, tapi mereka tidak menemukan orang-orangnya.Meski begitu, Pos Kupang tetap bertahan. Karena kehabisan kertas koran, kami mulai mencetak koran pakai kertas warna- warni yang kami beli di toko-toko di Kupang. Penampilan ini malah menimbulkan kesan pada pembaca seolah-olah Pos Kupang sudah sangat berkembang.
Dalam keadaan bisa bertahan itu, Kelompok Kompas Gramedia (KKG) melakukan survei dan melihat pertumbuhan, prospek dan daya tahan kami. Maka pada April 1995 saya langsung menawarkan merger dengan KKG. Tawaran itu ternyata diterima. Merger dengan KKG dilakukan pada tanggal 30 Juli 1994 dengan akta notaris No. 158, dan direalisasikan mulai tanggal 9 Maret 1995. Merger dilakukan karena Rudolf Nggai menyatakan ingin berkonsentrasi pada bisnis utamanya. Karena itu, kami terpaksa bubar. Tinggal saya dan Valens Goa Doy. Pada saat Rudolf Nggai mundur, kami langsung mengalami krisis cash flow. Saat itu tingkat pendapatan karyawan sangat menyedihkan. Ya, antara Rp 60 ribu sampai Rp 100 ribu perorang per bulan ditambah uang makan.
Dalam beberapa bulan pun proses merger selesai. Kami keluar dari tempat lama yang disediakan Rudolf di Jl Soeharto pada tanggal 1 Maret 1995, bertepatan dengan liburan lebaran. Kami pindah ke Jl Kenari No. 1 Naikoten 1 Kupang, kantor yang kami tempati sampai saat ini. Kantor yang sekarang ini awalnya rumah toko milik Suwarno Suyanto. Ketika kami masih bingung mencari tempat, dia menawarkannya dengan biaya kontrak Rp 10 juta per tahun untuk jangka waktu lima tahun. Selanjutnya, KKG membeli bangunan dua lantai dan tanah ini dengan harga Rp 500 juta. Ini yang saya sebut penyelenggaraan Tuhan.
Pada waktu merger, kami hanya memiliki satu mesin cetak tua dengan fasilitas kredit bank karena sudah dinilai memiliki prospek. Kredit ini pun diperoleh atas dukungan Gubernur Herman Musakabe yang bertindak sebagai Ketua Pengawas Bank NTT waktu itu. Dengan uang kredit itu, kami membeli mesin cetak dan sarana kerja lainnya. Pinjaman itu kami lunaskan dalam tiga tahun kemudian.Pada tahun 1996, kami mulai mendapat bantuan tenaga dari KKG/Persda), yaitu Marcel Weter Gobang, Januari 1996, diikuti Hyeronimus Modo, mulai 1 Februari 1996. Sebelumnya kami juga mendapat tenaga percetakan Setya MR.
Untuk efisiensi waktu itu, kami mendapat inspirasi untuk coba mengembangkan cetak jarak jauh di Ende mulai 25 Maret 1998, bekerja sama dengan Percetakan Arnoldus Ende. Hal ini tidak terencanakan, tetapi menjadi blessing indisguise (berkat terselubung) karena beberapa bulan kemudian Indonesia dilanda krisis moneter. Distribusi koran kami ke daerah-daerah tertolong oleh cetak jarak jauh ini.Cetak jarak jauh yang kami kembangkan itu ternyata menjadi satu-satunya yang dikembangkan koran daerah ketika itu, sehingga pada suatu hari saya ditelepon oleh Dirjen PPG Deppen, menanyakan teknologi cetak jarak jauh itu. Pada waktu itu Deppen sedang membahas peraturan cetak jarak jauh.Kemudian KKG juga ingin agar Pos Kupang mengubah format dan memperbaiki mutu percetakan. Maka kami mendapat bantuan mesin cetak web pada tahun 1999. Gedung baru untuk mesin cetak web ini diresmikan pada Februari 2000. Akibatnya kami melakukan percetakan dalam dua versi. Di Ende Pos Kupang tetap dicetak dalam ukuran tabloid, sedangkan di Kupang dalam ukuran broadsheet. Selanjutnya pada tahun 2000 kami pun mendapat bantuan satu unit mesin web dari KKG untuk Flores. Maka cetak jarak jauh kami pindahkan dari Ende ke Maumere menggunakan mesin web ini. Sejak itu ukuran koran Pos Kupang di Flores sama dengan di Kupang yaitu broadsheet. Bedanya, di Flores tetap dicetak hitam putih, sedangkan di Kupang dicetak warna untuk halaman-halaman luar.
Dengan cetak jarak jauh di Flores, kelihatan ada prospek di Flores. Maka mulai 1 November 2004, kami juga merintis cetak jarak jauh di Ruteng sampai sekarang. Kami juga bermimpi untuk membangun cetak jarak jauh di Sumba. Mudah-mudahan mimpi itu bisa terealisasi pada waktu-waktu mendatang. Apa yang kami lakukan ini intinya untuk mengatasi kesulitan distribusi.
Selain cetak jarak jauh, sejak tahun 1997 kami juga sudah memiliki website. Sejak itulah berita-berita Pos Kupang bisa diakses di seluruh dunia. Website ini mengambil bagian dalam website Harian Kompas. Di balik upaya ini kami ingin agar Pos Kupang menyebar luas. Sampai dengan usia 15 tahun ini, Pos Kupang tidak pernah lepas dari masalah, bahkan akan terus menghadapi masalah. Selain masalah distribusi, sebagai media cetak Pos Kupang menghadapi revolusi teknologi multi-media yang sedang menyerbu dunia saat ini. Kendati demikian, sebagai pemimpin di sini saya tidak cemas. Saya yakin media cetak tidak akan pernah tergusur karena multi-media pun dimulai dengan membaca. Yang menjadi persoalan bagi kami adalah pengembangan diri orang-orang yang mengelola Pos Kupang. Ada yang menulis berita belum benar, bahasa yang jelek dan logika yang tidak jalan. Yang terakhir inilah sebenarnya yang mengancam kami. Karena itu, kami merasa perlu setiap orang dalam perusahaan ini mengoreksi diri. Setiap karyawan harus rentan terhadap perubahan yang serba cepat saat ini.Sayangnya, ada di antara kami yang belum sadar akan hal ini. Saya tidak membutuhkan semuanya. Cukup 50 persen saja dari karyawan di sini memiliki visi maju, maka kami berani mengatakan bahwa kami tidak takut perubahan. Kami sudah banyak melakukan perubahan selama ini. Tapi, kalau ada yang tidak mau berubah, dia akan mati (If you don't change, you die).
Saat ini pun hadir begitu banyak media di NTT, selain Pos Kupang. Terhadap kehadiran media-media ini, Pos Kupang patut berbangga karena Pos Kupang sudah mendidik jurnalis dan pekerja-pekerja pers yang bisa merintis media baru.
Dalam posisi sebagai tokoh pers di NTT, saya bangga dengan kehadiran media-media ini. Kita sama sekali tidak alergi terhadap kehadiran mereka. Kehadiran mereka justru memperkuat Pos Kupang dalam mencapai visi dan misinya membangun budaya baca di NTT. Kehadiran media-media ini membantu kami untuk saling mengoreksi.
Kami senantiasa sadar bahwa mati hidupnya usaha ini sangat tergantung pada masyarakat pembaca. Kami tidak mungkin hidup tanpa pembaca, baik dengan membeli dan memasang iklan di Pos Kupang maupun melalui kritik dan sarannya untuk kemajuan Pos Kupang. Kami yakin dengan demikian Pos Kupang masih bisa merayakan ulang tahunnya pada waktu- waktu mendatang. Dirgahayu Pos Kupang. Ad multos annos.*

Lampiran:Pimpinan Pos Kupang sejak 1992:
1. Pemimpin Umum I : Damyan Godho - sekarang2. Pemimpin Perusahaan I: Rudolf Nggai3. Pemimpin Redaksi I: Damyan Godho -4. Pemimpin Perusahaan II: Thomas A. Tho (Manajer Pemasaran)5. Pemimpin Perusahaan III: Anton Tandun6. Pemimpin Perusahaan IV: Agus Nugroho7. Pemimpin Perusahaan V: Haryanto Mulyono8. Pemimpin Perusahaan VI: Djoko Riyatno9. Pemimpin Perusahaan VIII: C. Situmorang (27 April 2000 - 1 November 200010. Pemimpin Perusahaan IX: Bambang Maladi (1 November - 200211. Pemimpin Perusahaan X: Daud Sutikno (2003 - sekarang)12. Pemimpin Redaksi II: Marcel Weter Gobang 13. Pemimpin Redaksi III: Dion DB Putra (1 Januari 2004 - sekarang).

Jumat, 19 Oktober 2007

Kasus dana gizi buruk di TTU, kader Posyandu tidak terima telur dan ikan

Oleh Julianus Akoit

KEFAMENANU, PK--Para kader pos pelayanan kesehatan terpadu (Posyandu) di sejumlah desa di Lurasik, Kecamatan Biboki Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), mengaku tidak pernah ada petugas gizi dari kecamatan yang menyerahkan bantuan ikan kering dan telur untuk perbaikan gizi ibu hamil (bumil). Sedangkan pendropingan bantuan makanan tambahan bagi balita gizi buruk jumlahnya tidak mencukupi.
Pengakuan ini disampaikan oleh kader Posyandu IV, Desa Hauteas, Ny. Jasinta Mutik (40), ketika ditemui di kediamannya, Jumat (19/10/2007) siang. "Ibu hamil di sini belum pernah mendapat bantuan ikan kering dan telur untuk perbaikan gizi dari petugas gizi di Puskesmas Lurasik. Belum pernah itu. Yang saya dengar dari banyak orang, ada dana Rp 90 juta untuk itu. Tapi petugas beli apa saja, kami kader tidak tahu," jelas Ny. Mutik. Ia justru mengaku baru tahu pasti dari wartawan kalau sebenarnya ada dana perbaikan gizi untuk ibu hamil.Tentang bantuan untuk balita gizi buruk, kata Ny. Mutik, pada bulan September lalu petugas memberi bantuan kacang hijau dua kilogram, susu dancow bubuk tiga sachet (bungkus) seharga Rp 1.500,00 dan gula pasir sebanyak dua bungkus seharga Rp 1.000,00.
"Bantuan itu mubazir dan saya tidak bisa masak bubur kacang hijau untuk dijadikan makanan tambahan bagi para balita. Pasalnya, saya punya balita asuhan berjumlah 80 orang. Bagaimana para balita ini bisa makan bubur kacang hijau sebanyak dua kg? Susu bantuan tiga bungkus dan gula pasir dua bungkus itu cuma bisa buat susu untuk tiga balita. Saya tidak tahu kenapa petugas kasih cuma begitu saja," beber Ny. Muti dengan nada tinggi. Dikatakannya, pada Kamis (18/10/2007) siang, ia mendapat bantuan 72 dos susu dari Koramil Biboki Utara. "Masing-masing balita asuhan saya, mendapat 9 bungkus susu dari Pak Tentara di Lurasik. Hanya itu saja. Dan belum pernah ada bantuan susu dari petugas gizi di Puskesmas Lurasik untuk jatah bulan Oktober ini," jelas Ny. Mutik.Di Desa Biloe, salah seorang kader posyandu yang ditemui di kediamannya mengatakan, ia belum pernah melihat petugas membagikan bantuan ikan kering dan telur bagi perbaikan gizi ibu hamil. "Belum ada itu. Saya kok baru tahu ada dana perbaikan gizi bagi ibu hamil. Pokoknya sampai sekarang belum ada petugas kasih ibu hamil di sini ikan kering dan telur," tukasnya, seraya meminta agar wartawan jangan menulis namanya. Alasannya, kata sang kader ini, takut nanti insentifnya sebesar Rp 7.500,00 per bulan dihapus oleh petugas gizi dari Lurasik.
Tentang bantuan makanan tambahan bagi para balita gizi buruk, kader ini mengatakan, ia tidak pernah memasak bubur kacang hijau untuk balita asuhannya. "Petugas datang bawa kantong plastik berisikan kacang hijau. Di depan saya, dia rogoh kantong plastik itu dengan dua tangannya lalu memberi saya kacang hijau sebanyak dua genggam. Bagaimana saya bisa kasih makan puluhan balita asuhan dengan kacang hijau sebanyak dua genggam tangan?" katanya.
Dua kader posyandu di Desa Tualene, yang ditemui terpisah kemarin siang, punya kisah lain lagi. Ny. Anika Fanggie (28), kader Posyandu Melati di Dusun Buisena, mengaku mempunyai 37 balita asuhan. "Bulan Januari lalu dapat beras gizi buruk, biskuit dan susu untuk perbaikan gizi balita. Tapi jumlahnya sangat sedikit," ujar Ny. Anita tanpa merinci jumlah bantuan tersebut. Bulan Agustus lalu, tambahnya, balita asuhannya mendapat bantuan biskuit dari petugas gizi di Lurasik. "Tapi para ibu hamil di sini belum pernah dapat bantuan ikan kering dan telor," tukasnya.Ny. Adeline Pandie, kader Posyandu II Teratai menjelaskan, 68 balita asuhannya pernah mendapat bantuan biskuit dan kacang hijau. "Sedangkan bantuan ikan kering dan telor untuk perbaikan gizi ibu hamil, mungkin disalurkan lewat puskesmas pembantu. Tapi saya belum pernah lihat bantuan itu," tukasnya.Sebelumnya diberitakan, dana gizi buruk bagi perbaikan gizi ibu hamil (bumil) dan balita sebesar Rp 90 juta di Puskesmas Lurasik, Kecamatan Biboki Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), ternyata hanya dibelikan ikan teri kering sebanyak 17 kilogram dan telur sebanyak tiga rak atau sekitar 90 butir telur. Pengadaan ikan kering dan telur ini untuk kebutuhan tiga bulan untuk 101 ibu hamil dan 1.737 balita di wilayah tersebut. Kasus ini sudah dilaporkan Kepala Puskesmas Lurasik, Ny. Wihelmina Bone kepada Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kabupaten TTU, dr. Michael Suri, M.M, pekan lalu. (ade) Pos Kupang, 20 Oktober 2007, hal 1

Berantas kusta di Solor

Oleh Agus Sape

MEMBACA warta tentang penyakit kusta yang menyerang 34 warga empat desa di Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur (Flotim), kita kaget bukan main. Sama seperti pernyataan anggota DPRD Flotim kita heran, kok di zaman seperti ini masih ada juga warga kita yang menderita penyakit yang dulu distigmakan sebagai kutukan itu.
Berkat perkembangan bidang kedokteran, stigma itu akhirnya dicabut karena toh kusta bisa diobati dan bisa disembuhkan. Tapi, mengapa di Flores Timur penyakit ini masih bercokol? Di sinilah kita bisa mengukur tingkat kesadaran masyarakat akan hidup sehat.
Sebagaimana dikemukakan para dokter setempat, penyakit ini memang sifatnya menular. Kalau kondisi kesehatan (gizi) masyarakat tidak memadai, daya tahan tubuhnya menurun, juga faktor kebersihan lingkungan dan kekurangan air, maka kusta akan mudah menular.
Kalau masyarakat empat desa di Solor Barat berada dalam kondisi seperti disebut di atas, maka masalahnya tidak sebatas rendahnya kesadaran akan pentingnya hidup sehat. Peran aktif pemerintah, mulai dari pemerintah daerah sampai pemerintah desa sangat diperlukan. Tidak ada alasan bagi pemerintah, dalam hal ini petugas kesehatan, untuk tidak bisa menjangkau warga yang tertular penyakit ini. Asal saja pemerintah memberi perhatian serius dan terus-menerus, masalah ini tidak bakal terus bercokol di kalangan masyarakat desa.Upaya sosialisasi penanganan penyakit kusta yang dilakukan Tim Penggerak PKK Flotim ke wilayah Solor Barat pekan lalu mudah-mudahan menjadi awal dari perhatian serius terhadap masalah ini. Namun hal ini hendaknya tidak dilakukan sekali, tetapi terus menerus. Upaya ini pun harus diikuti evaluasi terus- menerus, seberapa efektif upaya yang dilakukan. Sebab banyak kali gagalnya upaya-upaya kita terletak pada pendekatan yang kita lakukan.
Artinya, kalau masyarakat di Solor Barat itu enggan memeriksakan diri ke puskesmas karena malu, petugas mestinya menjemput bola, mendatangi mereka di desa-desa di mana terdapat penderita itu. Bahkan kalau mereka lari dan bersembunyi di kebun-kebun, apa susahnya petugas datang ke sana? Bukankah medan Solor bisa dijangkau? Selain supaya para penderita itu yakin bahwa penyakitnya bisa diobati dan disembuhkan, bukankah ini juga sebagai bentuk pelayanan kita kepada masyarakat? Sia-sialah Flotim maju dalam bidang-bidang lain kalau penyakit kusta ini tidak bisa diberantas. Bahkan ketika kusta masih menyerang suatu masyarakat, orang langsung bisa mengukur betapa masyarakat itu masih rendah peradabannya. Jadi derajat kesehatan masyarakat juga menjadi ukuran peradaban.
Masalah ini menjadi tantangan bagi pemimpin Flotim saat ini. Masih begitu banyak masalah yang bercokol di Solor saat ini. Selain masalah ketersediaan pangan, masalah yang harus segera diatasi adalah masalah transportasi darat, masalah penerangan listrik dan masalah air bersih.Sudah ada upaya-upaya yang dilakukan pemerintah saat ini, namun hendaknya terus dilakukan. Terutama air bersih. Alam Solor yang kering memang kita tidak bisa mengharapkan banyak soal air bersih. Karena itu, diperlukan upaya sadar dari pemerintah untuk mengoptimalkan sumber-sumber air yang ada. Pemerintah perlu mengusahakan pendistribusiannya ke seluruh pulau sehingga air yang terbatas tidak hanya dinikmati segelintir warga, tetapi juga dirasakan oleh seluruh warga Pulau Solor.
Ketersediaan air bersih secara memadai memungkinkan masyarakat untuk mengupayakan hidup bersih dan lingkungan bersih, mengusahakan makanan bergizi dan lengkap dari segi persyaratan kesehatan. Bahkan tidak hanya penyakit kusta yang bakal hilang, penyakit apa saja yang sifatnya menular bakal hilang kalau persediaan air cukup.
Kalau upaya-upaya itu juga tidak cukup efektif untuk membebaskan warga dari ancaman penyakit kusta, maka tidak ada salahnya kalau para penderita ini diambil dan dimasukkan ke panti rehabilitasi yang secara khusus merawat para penderita kusta. Yang kita tahu di Lewoleba ada Panti St. Damyan yang secara khusus merawat para penderita kusta. Pemerintah setempat jangan mengharapkan keberhasilan kalau masalah penyakit kusta ini saja tidak bisa diatasi.
Tetapi, sekali lagi, keberhasilan penyembuhan penyakit kusta ini tidak hanya dengan pengobatan, tetapi juga bagaimana faktor-faktor pendukung seperti air bersih tersedia secara memadai di wilayah.* Pos Kupang, 16 Oktober 2007

Hadiah Nobel Perdamaian

kfkhlfhkmslfkhflhkslfkh kdgdg jdfjfk kdfkl kfkgk