Jumat, 26 Oktober 2007

Bermimpi Bersama Anturium

Oleh Ilham Khoiri

SAAT ini, semakin banyak orang yang jatuh cinta pada anturium. Selain terpikat oleh keindahan daun-daunnya, mereka bersemangat memelihara tanaman mirip talas itu lantaran dibuai harapan memperoleh untung besar. Maklum, tanaman yang sedang naik daun ini memang sedang punya pasar bagus.
Cobalah datang ke sentra tanaman hias di Sawangan, Depok, Jawa Barat. Di sepanjang pinggir jalan kita bakal menemukan beragam anturium, mulai dari indukan besar, tanaman dewasa, sampai kecambah kecil hasil semaian. Kawasan itu juga menjadi tempat nongkrong para penggemar tanaman ini.
Salah satu tempat itu adalah Godongijo Nursery di Desa Sarua, Sawangan. Awal Oktober lalu, misalnya, sejumlah lelaki duduk-duduk santai di teras Godongijo Nursery sambil membahas berbagai perkembangan terbaru tanaman itu. Kebetulan saat itu mereka memperoleh buku anturium yang baru saja terbit.
"Perkembangan anturium sangat cepat. Makin banyak bermunculan hasil silangan baru dan harganya juga terus bergerak. Kami sering bertemu biar tak ketinggalan informasi," kata Aji Basri (30), penggemar tanaman hias asal Pamulang, Tangerang.
Tak ada jadwal pertemuan khusus. Kumpul-kumpul seperti itu bisa terjadi kapan saja jika dirasa ada kebutuhan penting. Mereka terdiri dari para pedagang, penghobi, kolektor, serta penggemar anturium yang punya hubungan erat.
Mereka umumnya terdiri dari pencinta tanaman hias yang belakangan tersedot pesona anturium. Sebagian lagi penggemar ikan atau burung yang beralih ke tanaman itu. Tetapi, ada juga beberapa pemain lama yang memelihara anturium sejak tahun 1980-an.
Di Semarang, Jawa Tengah, terbentuk Komunitas Anturium Indonesia (KAI) di Semarang, awal September. Organisasi itu dideklarasikan kolektor, pedagang, pakar tanaman, serta penggemar dari Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Mereka merancang program pertemuan, diskusi, kontes, dan pameran lebih rutin lagi.
Sebelum itu, sudah ada Komunitas Anturium Karanganyar (KAK), yang banyak beranggotakan penggemar dan petani di kaki Gunung Lawu, Karanganyar. Kini KAK melebur dalam KAI. Hingga kini, KAI masih terus menjaring anggota baru dengan menyebarkan formulir serta meresmikan sejumlah cabang, antara lain di Denpasar, Yogyakarta, Batang, Pekalongan, dan Malang.
"Kami ingin menjaga stabilitas harga dan kualitas anturium serta menyiapkan program sertifikasi dan standardisasi jenis dan nama. Produk tanaman ini potensial untuk diekspor ke luar negeri," kata Ketua KAI Bonaventura Sulistiana.
Maskulin
Kenapa mereka terpikat dengan tanaman yang di mata sebagian orang awam tampak "biasa-biasa saja" itu? Bagi penggemar fanatik, anturium sangatlah istimewa. Setiap lekuk, warna, tekstur, dan urat daunnya memendarkan pesona tersendiri.
Daun anturium berwarna hijau tua atau sedikit muda dengan urat dan tulang daun yang kekar dan menonjol. Sosoknya gagah sekaligus anggun dan mewah. Mungkin lantaran penampilannya yang terkesan maskulin, maka penggemarnya lebih didominasi laki-laki ketimbang perempuan. Jenis anturium yang kini banyak diburu antara lain berbagai turunan Jenmanii, Hookeri, Gelombang Cinta atau Wave Love, Garuda, dan Black Beauty.
Dulu, anturium jadi hiasan taman dan istana para raja. Tahun 1984-1985, hobi memelihara tanaman ini menggejala sebagai ikon gaya hidup elite. Sempat tenggelam sebentar, tanaman itu melejit lagi sekitar tahun 1987-1992. Awal tahun 2006, anturium kembali menduduki posisi puncak tanaman hias.
Menurut Ketua Florikultura Indonesia Iwan Hendrayatna, anturium muncul saat pasar jenuh dengan tanaman hias aglonema. "Saat aglonema turun, orang-orang mencari mainan baru dengan melirik anturium lagi," katanya.
Pasang ketiga kali ini berlangsung cepat dan diwarnai lonjakan harga. Februari tahun 2006, harga satu anturium induk dewasa jenis Jenmanii klasik sekitar Rp 1 juta per pohon. Beberapa bulan kemudian, harganya sudah tak keruan.
"Saat pameran tanaman hias di Lapangan Banteng, Jakarta, Agustus 2006, saya beli jenis Jemanii kobra Rp 15 juta. Beberapa saat kemudian, pohon itu dibeli penggemar asal Jawa Tengah seharga Rp 25 juta," kata Aseng Suwandi Taher (48), kolektor anturium asal Bogor.
Kini, harga jual dihitung dari jumlah daunnya. Satu daun jenis Jenmanii "kobra" dijual sampai puluhan juta. Bahkan, biji yang siap disemai sudah dihargai Rp 185.000-Rp 800.000 per buah. Bonggol (umbi), tongkol (bunga), dan kecambah hasil semaian juga laris.
Rekor harga dicapai satu jenis Jenmanii silangan baru di Kudus, Jawa Tengah, yang dijual sampai Rp 1,25 miliar belum lama ini. Padahal, tanaman itu masih setinggi 60-an sentimeter.
Komoditas
Keadaan ini memberi berkah bagi petani, pedagang pengumpul, kolektor, sampai penggemar. Kisah pemelihara anturium "yang kaya mendadak" jadi bumbu obrolan di kalangan pencinta tanaman hias. Impian meraup keuntungan tinggi dalam waktu cepat membuat banyak orang memburu tanaman ini.
"Masyarakat memelihara anturium karena ada harapan bakal memanen keuntungan. Impian ini tumbuh subur di tengah situasi ekonomi bangsa yang lesu," kata Firdaus Alamhudi, pelukis asal Pondok Pinang, Jakarta Selatan, yang belakangan jatuh cinta pada anturium.
Sampai kapan fenomena ini berlangsung? Banyak kalangan optimistis tanaman ini masih akan bagus posisinya karena masih bermunculan bermacam jenis silangan baru. Meski begitu, tak sedikit yang menduga pasar ini hanya gelembung sementara hasil "goreng-gorengan" di antara pedagang sehingga bakal menurun juga suatu saat nanti.
"Punya anturium seperti menyimpan saham. Menjanjikan. Tetapi, kita tidak tahu kapan naik kapan turun," ungkap Chandra Gunawan Hendarto, pemilik Godongijo Nursery di Sawangan, Depok.

Gampang Dirawat

Anturium tergolong keluarga Araceae dan masih berkerabat dengan beberapa tanaman hias lain, seperti aglaonema, filodendron, dan alokasia.
Dalam habitat aslinya, anturium biasa hidup di dasar hutan tropis di sejumlah negara Amerika Latin dan Asia, termasuk Indonesia, di bawah rerimbunan pohon. Jumlah spesies asli anturium mencapai 700-1.000, belum lagi yang hasil persilangan. Tanaman ini tak tahan sinar matahari langsung, melainkan butuh tempat dengan kadar cahaya sekitar 30-40 persen. Masyarakat biasa memeliharanya di bawah jaring pengayom berukuran 60-70 persen.
Sebagian besar penggemar menanam anturium pada media akar pakis dan sekam bakar yang punya banyak rongga sirkulasi udara. Jika panas tinggi, kadang ditambah serabut kelapa yang menyerap air lebih lama. Tanaman disiram saat media kering, biasanya satu-dua hari sekali, tergantung cuaca.
"Anturium itu gampang dipelihara, bandel. Asal media tanam cocok dan perawatan benar, tanaman akan hidup," kata Ricky Hadimulya, penggemar tanaman hias asal Bogor. Memelihara anturium juga tidak butuh lahan luas, cukup di halaman rumah.
Meski begitu, anturium kadang mengalami busuk daun dan busuk batang yang dipicu kelembapan kelewat tinggi atau terlalu rendah. Jalan keluarnya, perlu dipertahankan kelembapan ideal, yaitu sekitar 60-80 persen.
Ada lagi serangan tikus, siput, ulat, kaki seribu, atau belalang. Cara mengatasinya, periksa tanaman secara rutin. Pemupukan cukup dengan pupuk kandang, humus, atau NPK, dengan kadar dan waktu yang tepat.
Anturium dikembangbiakkan lewat biji (generatif) atau stek (vegetatif). Setelah berumur sekitar tiga tahun, tanaman akan mengeluarkan bunga, biasa disebut tongkol. Jika sari tongkol jantan ditempelkan pada tongkol betina yang berlendir, terjadi pembuahan dan menghasilkan biji yang bisa disemai.
Stek dilakukan melalui batang atau mata tunas. Batang dipotong dengan menyertakan beberapa akar, kemudian ditanam pada media tumbuh baru. Perbanyakan lewat tunas dikerjakan dengan memotong mata tunas. (iam) Kompas, Minggu, 21 Oktober 2007

Tidak ada komentar: