Minggu, 11 Agustus 2013

Menanam dengan Kasih di Batu Karang

* Uskup Agung Kupang Tanam Sorgum di Oepaha CUACA di Oepaha, Desa Oeltua, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang, Jumat (14/6/2013), cukup bersahabat. Surya bersinar cerah, angin berembus lembut, menambah sejuk daerah di ketinggian itu. Pada hari itu, warga Oepaha berdiri rapi di pertigaan jalan, mengenakan busana khas Timor. Mereka menunggu kedatangan Uskup Agung Kupang (KAK), Mgr. Petrus Turang, Pr, yang hendak menanam sorgum di lahan seluas 2 hektare milik warga. Sekitar pukul 10.30 Wita, Uskup tiba di pertigaan itu. Ia didampingi Pastor Paroki St. Yosef Pekerja Penfui, Romo Kornelis Usboko dan Romo Dedy Ladjar, dan Ketua Delsos KAK, Drs. Kanis Kusi. Begitu turun dari mobil, Uskup dan rombongan disalami warga. Bahkan Uskup, Pastor Paroki dan Ketua Delsos dikalungi seledang timor. Dari pertigaan itu, Uskup dan rombongan diantar ke sebuah tenda darurat di tengah ladang yang telah disiapkan, diiringi tari- tarian. Uskup mengagumi para penari yang terdiri dari ibu-ibu karena dengan kaki telanjang mereka mampu berjingkrak- jingkrak di atas batu karang. Menurut Uskup, para penari memiliki kemampuan meringankan badan sehingga kaki mereka tidak kesakitan atau terluka menginjak batu karang. Di tenda tadi, warga sudah menyiapkan bibit sorgum berbagai jenis. Ada bibit sorgum lokal berwarna putih dan merah. Ada pula sorgum hibrida yaitu varietas Lamongan dan varietas Lumbu. Menurut seorang pemerhati pertanian setempat, John Kadati, bibit sorgum lokal merupakan bantuan KAK melalui Delsos sebanyak 2 kg. Sedangkan varietas Lamongan dan Lumbu didatangkannya sendiri. Bibit-bibit sorgum itu tidak langsung ditanam, tapi lebih dahulu didoakan bersama-sama. Uskup memimpin doa lalu memberkati air yang kemudian direcikkan pada benih-benih sorgum tersebut. Inilah nilai terpenting dari kehadiran uskup dan pastor paroki pada moment tersebut. Setiap benih yang ditanam harus didoakan supaya bisa tumbuh subur dan memberikan hasil berlimpah. "Kita meminta berkat dari Tuhan untuk apa yang kita tanam. Kita menanam dengan kasih di atas batu karang. Betapa pun kerasnya batu karang kalau kita bekerja sama, pasti bisa. Semoga pengalaman hari ini juga menjadi tanda untuk kita saling memperhatikan," kata Uskup. Untuk menanam bibit sorgum tersebut, warga telah menyiapkan tali agar benih-benih itu bisa ditanam dalam garis lurus. Penanaman pertama dilakukan oleh Uskup, diikuti Ketua Delsos, Pastor Paroki Penfui dan John Kadati. Selanjutnya warga menanam beramai-ramai. Terjadi dialog yang akrab antara Uskup dan para petani selama penanaman itu. Uskup menyampaikan sejumlah kearifan yang perlu dilestarikan para petani. Misalnya, setelah memasukkan benih, lubang tidak boleh ditutup menggunakan kaki. Sebelum di Oepaha, penanaman sorgum di lahan warga sudah dilakukan di Manuat, Desa Baumata Timur beberapa bulan lalu. Sorgum tersebut sudah dipanen dengan hasil yang menakjubkan. John Kadati yakin penanaman di Oepaha bakal jauh lebih menakjubkan karena letak Oepaha di ketinggian sekitar 300 meter dari permukaan laut dengan tingkat kelembaban yang cukup tinggi. Kondisi itu pula yang memberanikannya menanam sorgum pada musim kemarau. Uskup mengatakan, supaya sorgum yang ditanam bisa berhasil, warga harus menanam di atas areal yang lebih luas lagi, diikuti perawatan dan kasih sayang terhadap tanaman tersebut. Namun, dia menyarankan agar warga tidak hanya menanam sorgum, tapi tanam juga jagung dan ubi-ubian. Tanaman-tanaman itu ditanam secara tumpang sari. "Kita menanam tanaman yang saling mendukung," pintanya. Krisis Air Meskipun warga Oepaha memiliki lahan yang masih luas dan menghasilkan berbagai tanaman pertanian, satu kebutuhan vital yang hingga saat ini masih sebatas kerinduan mereka adalah pemenuhan kebutuhan air bersih. Menurut John Kadati, untuk mendapatkan air bersih warga setempat harus berjalan kaki sekitar dua kilometer ke sumur Oelbisokan. Warga sering terlambat ke gereja pada hari Minggu juga karena harus antre berjam-jam di sumur dengan kedalaman 4 meter itu. Selain sumur Oelbisokan, warga tidak memiliki mata air yang lebih dekat. Masalah air ini bisa diatasi kalau diupayakan penggalian sumur bor di lahan warga. John mengaku sudah mengajukan proposal ke P2AT (Proyek Pengembangan Air Tanah) Kabupaten Kupang agar bisa dilakukan survei pembangunan sumur bor di wilayah itu. Uskup mengatakan, warga harus bersyukur kalau ada lembaga yang siap membantu pembangunan sumur bor. Tetapi warga juga harus bisa menyimpan air hujan dengan membangun bak atau embung-embung. Uskup pun siap membantu pembangunan sumur bor bagi warga asalkan warga bersedia memberikan surat penyerahan tanah. Menanggapi Uskup, Ketua Stasi Oeltua, Benyamin Bani menyatakan siap memberikan tanah. Bahkan untuk gereja, kata Benyamin, warga sudah menyediakan tanah sekitar 5.000 meter persegi. Oepaha, dalam bahasa setempat, berarti daerah perbatasan. Menurut Benyamin, wilayah ini dihuni oleh 30 kepala keluarga atau 158 jiwa. Mereka pada umumnya petani ladang. Beberapa di antaranya memiliki sawah di Oesao. (agus sape) POS KUPANG/AGUS SAPE DIALOG -- Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, Pr (kanan) sedang berdialog dengan warga Oepaha di atas lahan penanaman sorgum, Jumat (14/6/2013).

Rabu, 22 Oktober 2008

NTT Forum of Parliamentarians Socialize Regulation of Disaster Relief

KUPANG, PK - Regional Representatives Council (DPRD) NTT Province, through the Indonesian Forum of Parliamentarians of Population dan Development, socialize the Local Regulation (Perda) No. 16/ 2008 on Organizing Natural Disaster (PPB). Socialization is done, both in the interactive dialogue with the mass media and direct dialogue with the local government and the local community.
Socialization starts with an interactive dialogue on TVRI in Kupang, East Nusa Tenggara, on Wednesday (22/10/2008) evening, next to each district. Present as resource persons, former Chairman of the Pansus PPB/ NTT's Local Forum of Parliament, Ir. Emiliana Nomleni, Drs. Marsel Tupen Masan from the Agency of Linmas NTT Province, Raymundus Lema from MPBI (Community Disaster Relief in Indonesia), Patrisius Usfomeny from Oxfam Great Britain (GB) Humanitarian Office.
According to the terms of reference of the Forum of Parliament NTT, socialization of Local Regulation No.16/2008 aims to obtain feedback from the public on PPB regulation and programs for disaster risk reduction (DRR) at NTT. In addition, to build understanding among the local parliament, executive and other stakeholders regarding the organization of disaster management in NTT.
Julius Nakmofa from the PMPB NTT, which also attended the dialogue at TVRI NTT yesterday, assess the substance of the Local Regulation No. 16/2008 is good. The most important, he said, its implementation in the field later. He expects the local parliament and government and other stakeholders have the same understanding that implementation is also the same, not according to taste of each stakeholder.
This regulation produced by the initiative of Regional Representatives Council (DPRD) NTT Province through NTT's Parliament Forum, which supported by Oxfam GB, Community Disaster Relief in Indonesia (MPBI), PMPB (People Society for Disaster Management) of NTT, Research Institute of Undana, and various other stakeholders.
This is expected to become the legal basis of a formal set of functions and roles of the various parties involved in disaster management. Thus, there is more coordination and clear handling of the disaster became more effective. This can also be expected to overcome the weaknesses during this disaster, such as the weakness of coordination and communication, are not effective handling of the sectoral and fragmentary.
The process of birth of this regulation have to go through various stages, public consultations, the preparation of the script and academic discussion and the political determination in the NTT local parliament. This has set September and is currently awaiting implementation. To that end, this regulation needs socialization to the community and the local government. (by agus sape)

Selasa, 21 Oktober 2008

Dr. Marius Jelamu, M. Si: Development Based on Academic Principle

IN the 1990s Marius Ardu Jelamu known as a scholar who satisfied with the theories of theology and philosophy. Because he is graduate from Catholic School of Philosophy of Ledalero (1989).

And, when he continued to study graduate programs, majoring in sociology at the University of Indonesia (1997 - 1999), after graduating to become a civil servant (PNS) in the government of NTT province in 1995, it's not that clumsy. Sociology is still considered match by philosophy.

However, when he continued to study doctoral program in the field of agricultural extension at Bogor Institute of Agriculture (IPB) in 2003, people ask questions, can be thin?

For Marius no science that can not be learned, and no disciplinary of science that has nothing to do with philosophy. "Is not there philosophy in the agricultural farming? Why NTT people to plant corn, it has it's philosophy. Is not agriculture in Flores also built by the theologian (the pastor)?" Marius gave reasons.

He prove his statements when he completed his doctoral study at IPB in 2007. His lecturers even great surprise with his performance.

Now Marius more complete in learning sciences. If science is compared with trees, he has now known that trees from the roots, stems, up to the branches. Now he knows how to make trees can bear fruit in abundance.

On 6 October 2008 may be called for Marius important milestones in NTT. On that day, at the age of his doctoral degrees that are not yet a year, Marius appointed and established to be Chairman of the NTT Board of Alumni Association of IPB by General Chairman of Alumni of IPB Association.

Through these platforms, he, together with several alumni of IPB in NTT, would like to contribute something valuable for this region that always been called poor and underdeveloped.

"Before this the alumni of IPB have been done many things in NTT, but still individually. With gathered in an association of alumni, we will become a great force for NTT," Marius said in an interview with Pos Kupang at his living house in Jl. TDM II RT 13/RW 4 Oebufu Kupang, Saturday (11/10/2008).

Currently there are 28 branches of IPB Alumni Association in Indonesia. In NTT, 70 people have registered as members. They most lecturers, both in Undana and other universities in Kupang, with the expertise of each. There are agricultural experts, experts of natural resources and environment, experts of watershed, marine experts and the coastal areas, experts of livestock, fisheries experts, statistical experts and many more. "So in terms of human resources, we are very strong," said Marius again.

This lecturer for Agency on Education and Training in NTT Province said, IPB Alumni Association of NTT are ready to become a strategic partner of the government in regional development through studies in accordance with the expertise of each alumnus. The alumni of IPB are also ready to conduct a study of government programs. "We want to become the alternative think tank for local government," said the man who has produced a number of articles.

He gave example of corn planting program launched by the NTT Province government at this time. According to him, this program is very good because the people of NTT is very close with corn. The people of NTT know how to plant corn.

The important things now, Marius said, the NTT province government should set a goal of planting corn. If only for consumption, the government must know how much maize consumption needs of the people of NTT, so that the planting should not exceed the needs of the people. However, if its goal is agroindustry (business), the government should provide the market and post harvest processing.

"The alumni of IPB here will study and analise this program. We will undertake a seminar with experts and inventors bring corn from the IPB. We will work with industry practitioners of IPB alumni in Jakarta. We will also be lobbying dozens of important officials the alumni of IPB in Jakarta. For that, we need the support of local government, "Marius said.

He stressed that every development program that was produced by local government must stand on the principles of academic. That is, based on the results of a research program that is in accordance with the characteristics of the region and touch the real needs of the community.

"We should learn from developed countries such as Europe and Australia. Before launching the program, they must first conduct research," said the man born in Manggarai on 15 August, 1963.

In contrary he said, programs that are technocracy based, as practiced in the New Order era (Orde Baru), to be abandoned. The technocracy programs that tends to Javanese and applied uniformly in the New Order has resulted loss of local characteristics.

"We should change this. We start from the bottom. Identify the characteristics of our region. Therefore, we must come down to the villages," he said. (by agus sape)

Minggu, 19 Oktober 2008

Mengatasi Krisis Listrik dengan Energi Alternatif

Pos Kupang, 28 September (Ditulis dalam rangka pesta emas NTT)




Oleh Agus Sape


KESAL, itulah yang dialami warga Kota Kupang dan daerah-daerah lain di NTT akhir-akhir ini. Betapa tidak, listrik di rumah ataupun di kantor kita sering padam. Baik pemadaman terjadwal (bergilir) maupun pemadaman mendadak.
Sejumlah alasan klasik dikemukakan PT PLN. Antara lain pemeliharaan mesin atau bagian dari upaya menghemat bahan bakar solar. Tapi, kita tidak hendak membahas masalah ini di sini. Kita hanya mau mengatakan bahwa kekesalan kita terhadap pemadaman listrik di rumah atau kantor pertanda kita sudah sangat bergantung pada listrik. Listrik sudah ibarat nafas hidup kita. Begitu tidak ada listrik, mati rasanya, tidak bisa berbuat apa-apa. Kita hanya bisa tidur mengorok dan bermimpi.
Apakah dengan kondisi ini, kita mundur? Boleh jadi. Tapi, coba kita tengok ke tahun 1958 ketika Propinsi NTT mulai berdiri. Apakah NTT ketika itu sudah hidup di bawah gemerlap listrik? Orang-orang yang hidup pada masa itu tahu baik.
Yang jelas kondisi saat itu belum semaju saat ini. Bahkan bisa dikatakan belum ada apa-apanya. Kalaupun sudah ada listrik, itu sangat terbatas. Mungkin hanya ada di biara-biara atau gereja-gereja atau di rumah-rumah pejabat atau rumah raja, menggunakan genset. Warga pada umumnya masih menggunakan lampu pelita. Penggunaan lampu petromax atau biasa kita sebut lampu gas masih dianggap mewah. Tapi, semata-mata untuk penerangan di rumah malam hari. Di luar itu gelap-gulita.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) memang secara resmi berdiri pada tahun 1955, berasal dari penggabungan beberapa perusahaan listrik daerah pada zaman Belanda, yang dinasionalisasikan. Tapi, tentu saja jangkauan pelayanannya masih terbatas. NTT sudah pasti belum tersentuh.
Dengan Peraturan Pemerintah (PP) 18 Tahun 1972, PLN dibentuk menjadi Perusahaan Umum (Perum) dengan modal yang dipisahkan dari keuangan negara. Selanjutnya, PP 23 Tahun 1994 mengubah PLN menjadi PT (Persero) yang seluruh modalnya dimiliki negara.
Dipastikan pada tahun 1970-an, masyarakat NTT sudah mulai menikmati listrik. Bupati Timor Tengah Utara (TTU), Yakobus Ukat, BA, yang menjabat pada tahun 1970 - 1975, punya program menjadikan Kota Kefamenanu sebagai Kota Neon di daratan Timor. Jaringan listrik berlampu neon dipasang di ruas jalan utama Kota Kefamenanu. Kota yang dulunya gelap dan cuma diterangi temaram lampu minyak dari beranda rumah-rumah penduduk, bersalin rupa menjadi terang-benderang (Pos Kupang, 15/9/2008).
Dengan informasi ini dipastikan semua kota kabupaten di NTT sudah diterangi lampu listrik pada tahun 1970-an. Apalagi Kupang sebagai kota propinsi. Hanya memang listrik itu belum dimanfaatkan untuk kepentingan industri.
Kondisi itu masih berlanjut pada tahun 1980-an awal, sebagaimana tergambar dalam laporan Pemerintah Propinsi NTT pada akhir Pelita III. Kendati demikian, listrik termasuk sektor yang mengalami peningkatan di NTT pada masa itu.
Pada pertengahan tahun 1980-an atau memasuki Repelita IV, pembangunan bidang energi listrik terus ditingkatkan. Dilakukan peningkatan dan perluasan eksplorasi dan produksi sumber energi utama seperti panas bumi dan tenaga air serta melanjutkan usaha konservasi energi secara luas di segala bidang. Terjadi peningkatan sarana pusat listrik tenaga diesel (PLTD) yang tersebar, antara lain di Ende, Kupang, dan SoE. Dibangun pula jaringan distribusi yang dapat menunjang terlaksananya program listrik masuk desa.
Pada tahun-tahun berikutnya, penyediaan dan pemakaian energi listrik di NTT terus meningkat. Menurut data dari PT PLN (Persero) Wilayah NTT -- disampaikan dalam sosialisasi UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dengan mass media di NTT pada tanggal 16 Desember 2003 -- jumlah pelanggan listrik PLN di NTT pada tahun 1998 sebanyak 168.264, dengan daya terpasang 80,65 MW dan unit pembangkit sebanyak 353. Tahun berikutnya jumlah pelanggan naik menjadi 179.350 dengan daya terpasang 80,94 MW, dan pada tahun 2002 naik menjadi 201.469 pelanggan dengan daya terpasang 97,42 MW, dan pada semester I tahun 2003 pelanggan menjadi 202.942 dengan daya terpasang 100,22 MW.
Para pelanggan listrik PLN di wilayah NTT terdiri dari empat kategori, yaitu rumah tangga, bisnis, industri, sosial dan pemerintah. Menurut posisi tahun 2002, pelanggan terbanyak berasal dari rumah tangga 185.639 (92,14 persen), diikuti pelanggan bisnis 8.433 (4,19 persen), lalu pelanggan sosial dan pemerintah 7.274 (3,61 persen). Sedangkan pada semester I tahun 2003, pelanggan rumah tangga sebanyak 186.878, pelanggan bisnis 8.550, pelanggan sosial dan pemerintah 7.393, dan pelanggan industri 121.
Dari grafik yang ditunjukkan PT PLN Wilayah NTT, terlihat sejak tahun 1995 sampai tahun 2000 jumlah pelanggan naik cukup signifikan. Lalu dari tahun 2001 sampai semester I 2003 kenaikan tidak begitu besar.
Dengan melihat perkembangan jumlah penduduk di NTT dan kecenderungan perkembangan wilayah perkotaan dan banyaknya pembangkit tenaga listrik sampai di kota kecamatan bahkan desa, dipastikan jumlah pelanggan listrik PLN Wilayah NTT sudah jauh lebih banyak dari posisi tahun 2003.
Sayangnya, kecepatan pertumbuhan jumlah pelanggan ini tidak bisa diimbangi kecepatan naiknya persediaan daya listrik dari PLN. Lagi pula produksi listrik masih mengandalkan tenaga diesel (PLTD) yang menggunakan bahan bakar solar. Ketika harga BBM cenderung meningkat, beban biaya PLN semakin berat. Sementara itu mesin-mesin pembangkit milik PLN semakin tua, tanpa segera diikuti pengadaan mesin-mesin baru.
Kondisi ini sangat terasa ketika memasuki jam puncak antara pukul 18.00 - 22.00, daya listrik di rumah-rumah cenderung drop. Lebih buruk lagi, ketika PLN melakukan pemadaman bergilir, sebagaimana sedang kita alami saat ini, baik di Kota Kupang maupun beberapa daerah di luar Kota Kupang.
Sebagai pelanggan kita pasti kecewa. Tetapi, mungkin tidak berimbang kalau kita semata-mata mempersalahkan PLN. Kita juga harus bisa menyadari perilaku kita dalam memanfaatkan energi listrik. Kita seringkali menggunakan listrik untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.
Sementara itu, pemanfaatan listrik di rumah-rumah kita pun sudah mengalami diversifikasi. Listrik tidak lagi hanya untuk penerangan malam, tetapi juga untuk menghidupkan televisi, tape recorder, setrika, freezer, kompor listrik, charger handphone, komputer dan lain-lain.
Kalau melihat perluasan pemanfaatan energi listrik ini, kita mesti bersyukur bahwa memasuki usia 50 tahun NTT kita sudah bisa menikmati energi listrik sekian jauh, lebih jauh daripada ketika propinsi ini dibentuk 50 tahun lalu.
Yang perlu kita lakukan pada tahun emas ini adalah, bagaimana kita mencari dan mengembangkan energi alternatif. Kita tidak cukup mengandalkan produksi listrik dari PLTD yang menggunakan bahan bakar solar. Selain karena harga BBM terus melonjak, kita pun perlu mengikuti trend, yakni mengurangi pemakaian bahan bakar yang menimbulkan pencemaran lingkungan.
PLN sendiri, selain terus melakukan pengembangan transmisi, juga terus melakukan eksplorasi panas bumi (geothermal), tenaga uap dan batu bara sebagai sumber tenaga listrik. Sudah lama PLN mengeksplorasi potensi panas bumi (PLTP) di Ulumbu, Manggarai, yang berkapasitas 1 X 2,5 MW, PLTP Mataloko 1 X 2,5 MW dan PLTU Atapupu 2 X 5 MW.
Pada tanggal 15 April 2008, Dirut PT PLN (Persero), Fahmi Mochtar, meresmikan pembangunan PLTU Ropa di Desa Keliwumbu, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende. Dengan kapasitasnya 2 X 7 MW, PLTU ini bisa memenuhi kebutuhan listrik wilayah Ende, Sikka dan Flores Timur.
Di Desa Nurabelen, Flores Timur, PT PLN bekerja sama dengan Pemda Flores Timur membangun listrik tenaga batu bara dengan kapasitas 14 MW.
PLN Wilayah NTT juga mengeksplorasi energi air untuk memproduksi listrik. Beberapa tempat yang sudah diketahui potensinya adalah PLTM Reo, Kabupaten Manggarai (6 MW), PLTM Ndungga di Kecamatan Ndona-Ende (3 MW), PLTM Mbuliloo di Kecamatan Wolowaru, Ende (0,1 MW), PLTM Wolodesa di Kecamatan Paga, Sikka (1 MW).
Energi listrik yang cukup menjanjikan di masa depan adalah energi angin. Dari suvai PT PLN, potensi listrik tenaga angin terdapat di Desa Nangalili, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, dengan potensi energi angin 0,1 MW. Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTT juga sudah membangun dua unit kincir angin di Rote pada tahun 2005. Di TTS juga sudah dibangun sejumlah kincir angin kerja sama dengan Australia. Potensi yang sama terdapat di Sumba.
Melihat perkembangan di NTT akhir-akhir ini, tampaknya potensi listrik tenaga angin akan semakin menjanjikan. Angin kencang yang terus melanda wilayah NTT akhir- akhir ini kiranya tidak semata-mata dilihat sebagai gangguan. Kita pun bisa menangkap nilai positifnya dengan menjadikannya sebagai sumber tenaga listrik.
Keunggulan listrik tenaga angin sudah dirasakan oleh beberapa negara di Eropa dan Australia. Di Australia, misalnya, dibangun di Bald Hill, daerah South Gippsland, Negara Bagian Victoria. Di kawasan berbukit Bald Hill telah dibangun 84 kincir angin dengan tinggi masing-masing 125 meter. Kincir angin sebanyak itu mampu menghasilkan listrik dengan kapasitas 104 megawatt. Listrik yang dihasilkan kincir angin ini melayani kebutuhan 60.000 rumah tangga di Negara Bagian Victoria.
Kondisi di Bald Hill sebenarnya tidak lebih hebat dari kondisi NTT. Daerah kita yang terdiri dari bukit-bukit sangat potensial untuk pembangunan kincir-kincir angin. Yang paling penting ada di antara kita yang memberi perhatian terhadap potensi ini. Investor dari Belanda saja sudah melihat potensi energi angin di wilayah Kota Kupang dengan mulai menjalin kerja sama dengan Pemkot Kupang.
Yang tidak kalah menjanjikan adalah pembangunan listrik tenaga surya. Banyak pihak swasta di NTT sudah merintis pembangunan listrik tenaga surya ini. Hal ini mestinya terus dikembangkan ke arah kapasitas yang lebih besar melihat potensi sinar matahari selama 12 jam di NTT. Ketika wilayah NTT diprediksikan bakal menjadi daerah padang gurun, mestinya tidak semata-mata mencemaskan kita, tetapi di pihak lain menjadi sinyal bahwa daerah ini akan menjadi pusat pengembangan energi matahari di masa mendatang.
Untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi-potensi energi listrik ini, tentu saja kita jangan semata-mata mengharapkan peran PT PLN yang selama ini mendominasi pelayanan listrik dari wilayah kita. Kita membutuhkan peran aktif dari pemerintah daerah dan swasta untuk mengembangkan hal ini. UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan memberi peluang kepada instansi selain PLN untuk mengembangkan energi listrik, tentu saja setelah memenuhi sejumlah syarat. Dengan cara demikian, kenapa tidak, NTT akan mampu mengatasi masalah keterbatasan energi listrik, yang akan membawa masyarakat NTT menuju kesejahteraan.*

Dr. Marius Jelamu, M. Si: Pembangunan Berbasis Akademis

POS Kupang, 15 Oktober 2008


Dr. Marius Jelamu ketika mengikuti ujian terbuka dalam rangka meraih gelar doktor bidang pertanian di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.



PADA tahun 1990-an Marius Ardu Jelamu dikenal sebagai seorang sarjana yang kenyang dengan teori-teori filsafat dan teologi. Dia memang tamatan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (1989).
Dan, ketika dia melanjutkan studi ke program pascasarjana jurusan Sosiologi di Universitas Indonesia (1997 - 1999), setelah lulus menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Pemda NTT tahun 1995, rasanya tidak ada yang janggal. Sosiologi dianggap masih match dengan filsafat.
Tetapi, ketika dia melanjutkan studinya ke program doktor bidang penyuluhan pertanian di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2003, orang bertanya-tanya, kok bisa?
Bagi Marius tidak ada ilmu yang tidak bisa dipelajari, dan tidak ada disiplin ilmu yang tidak ada hubungannya dengan filsafat. "Bukankah di pertanian ada filsafat pertanian? Kenapa orang NTT menanam jagung, itu ada filsafatnya. Bukankah pertanian di Flores juga dirintis oleh para teolog (para pastor)?" Demikian Marius memberi alasan.
Dia pun membuktikan kata-katanya itu ketika dia menyelesaikan studi doktoralnya di IPB pada tahun 2007. Dosen-dosen pengujinya bahkan terheran-heran dengan prestasinya.
Kini disiplin ilmu yang dikuasai Marius semakin komplit. Kalau ilmu itu diumpamakan dengan pohon, maka dia sudah mengenal pohon itu mulai dari akar, batang, sampai ke ranting-rantingnya. Sekarang pun dia tahu bagaimana caranya supaya pohon itu bisa berbuah lebat.
Tanggal 6 Oktober 2008 boleh disebut tonggak penting bagi Marius di daerah ini. Pada hari itu, di usia gelar doktornya yang belum setahun, Marius dilantik menjadi Ketua Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Alumni IPB NTT bersama jajaran pengurus oleh Ketua Umum DPP Himpunan Alumni IPB.
Melalui wadah ini, dia bersama sejumlah alumni IPB yang tersebar di NTT ingin menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi daerah yang selalu dicap terbelakang dan miskin ini.
"Selama ini alumni IPB sudah banyak berkiprah di NTT, tapi masih sendiri-sendiri. Dengan berkumpul dalam satu wadah himpunan alumni, potensi-potensi ini akan menjadi kekuatan yang dahsyat bagi NTT," kata Marius dalam wawancara dengan Pos Kupang di kediamannya Jl. TDM II RT 13/RW 4 Oebufu Kupang, Sabtu (11/10/2008).
Saat ini ada 28 cabang Himpunan Alumni IPB di Indonesia. Di NTT sendiri, sudah 70 orang terdaftar sebagai anggota. Mereka kebanyakan dosen, baik di Undana maupun perguruan tinggi lainnya di Kupang, dengan keahliannya masing-masing. Ada ahli pertanian, ahli sumber daya alam dan lingkungan, ahli daerah aliran sungai, ahli kelautan dan daerah pesisir, ahli peternakan, ahli perikanan, ahli statistik dan masih banyak lagi. "Jadi dari segi SDM kami sangat kuat," kata Marius lagi.
Widyaiswara pada Badan Diklat Propinsi NTT ini mengatakan, Himpunan Alumni IPB Daerah NTT siap menjadi mitra strategis pemerintah dalam pembangunan daerah melalui kajian-kajian sesuai dengan keahlian setiap alumnus. Alumni IPB juga siap melakukan kajian terhadap program-program pemerintah. "Kami mau menjadi think tank alternatif bagi pemerintah daerah," kata pria yang sudah menghasilkan sejumlah artikel ini.
Dia memberi contoh program penanaman jagung yang digelontorkan Pemerintah Propinsi NTT saat ini. Menurut dia, program ini sangat bagus karena masyarakat NTT sudah sangat menyatu dengan jagung. Masyarakat tahu bagaimana menanam jagung.
Yang penting dari pemerintah, demikian Marius, menetapkan tujuan program menanam jagung. Kalau hanya untuk konsumsi, maka pemerintah harus tahu berapa kebutuhan konsumsi jagung masyarakat NTT, supaya penanamannya jangan sampai melebihi kebutuhan masyarakat. Tetapi, kalau orientasinya agroindustri (bisnis), maka pemerintah harus menyediakan pasar dan pengolahan pascapanen.
"Kami alumni IPB akan memberikan pikiran dan kajian terhadap program ini. Kami akan menggelar seminar dengan mendatangkan pakar dan penemu jagung dari IPB. Kami akan bekerja sama dengan praktisi-praktisi industri alumni IPB di Jakarta. Kami juga akan melobi puluhan pejabat penting alumni IPB di Jakarta. Untuk itu, kami butuh dukungan pemerintah daerah," kata Marius.
Dia menekankan agar setiap program pembangunan yang dilahirkan pemerintah daerah harus berpijak pada prinsip akademis. Maksudnya, berdasarkan hasil riset sehingga program itu sesuai dengan karakteristik daerah dan menyentuh kebutuhan riil masyarakat.
"Kita harus belajar dari negara-negara maju seperti Eropa dan Australia. Sebelum membuat program, mereka terlebih dahulu melakukan riset," kata pria kelahiran Manggarai 15 Agustus 1963 ini.
Sebaliknya dia berpendapat, program-program yang bersifat teknokratis, sebagaimana dipraktikkan pada era Orde Baru, agar ditinggalkan. Program teknokratis yang cenderung Jawa sentris dan diberlakukan seragam pada masa Orde Baru telah mengakibatkan hilangnya karakteristik lokal.
"Ini harus kita ubah. Kita harus mulai dari bawah. Mengenal karakteristik daerah kita. Karena itu, kita harus turun ke bawah, ke desa-desa," katanya. (agus sape)

Pandai Menanam, Tapi Lalai Merawat



TAMPAK GERSANG -- Inilah sebagian kawasan GOR Oepoi, tempat sekitar 2.000 anakan pohon ditanam oleh Forum Parlemen NTT. Tapi, sekarang anakan-anakan pohon itu nyaris tanpa bekas akibat kekeringan dan aktivitas manusia. Kawasan ini tampak gersang dan menjadi tempat warga bermain bola kaki.


Pos Kupang, 19 Oktober 2008 (Rubrik Bumi Kita)

CATATAN saya belum usang. Hari itu tanggal 19 Desember 2007 petang. Hujan rintik-rintik. Sudah musim hujan. Segenap anggota DPRD NTT yang tergabung dalam Forum Parlemen bersama keluarga berdatangan ke kawasan Gedung Olah Raga (GOR) Oepoi di Jalan WJ Lalamentik Kupang. Bersama mereka ikut juga 29 kelompok mahasiswa pencinta alam di Kupang. Termasuk mahasiswa Program Studi Manajemen Sumber Daya Hutan Politeknik Pertanian Negeri (Politani) Kupang.
Terdorong oleh rasa prihatin terhadap kondisi alam yang semakin rusak dan terus meningkatnya pemanasan global, mereka mau berbuat sesuatu. Kecilan-kecilan, daripada tidak berbuat apa-apa. Di kawasan GOR mereka menanam berbagai anakan pohon. Karena dorongan yang mulia ini, hujan yang perlahan-lahan membasahi tubuh, tidak mereka gubris.
Waktu itu Dinas Kehutanan Propinsi NTT menyediakan 3.000 anakan. Ada 1.000 mahoni, 500 jati putih, 500 angsana, 500 nangka, dan 500 mete. Sekitar 2.000 anakan berhasil ditanam. Selebihnya, boleh dibawa pulang. Gratis. Yang penting ditanam sampai hidup di pekarangan atau di mana saja.
Sekarang cobalah datang dan melihat nasib anakan-anakan yang ditanam. Apa yang terjadi? Sejauh pengamatan saya sampai kemarin, kondisinya memprihatinkan. Ya, ini fakta lapangan. Fakta itu suci. Dia tidak bisa menipu. Kawasan GOR pada hari- hari ini tidak bedanya dengan padang sabana. Rerumputan tampak kering-kerontang diselingi beberapa pohon. Anak- anakan pohon yang pernah ditanam Forum Parlemen nyaris tidak tampak.
Bisa macam-macam penyebabnya. Yang pasti menanam apa pun di Kupang tidak gampang hidup. Kalau di tempat lain orang menyebut tanah berbatu, karena memang tanahnya lebih dominan daripada batu, sedangkan di Kupang orang menyebut batu bertanah. Ya, batu karang. Batunya lebih dominan daripada tanah. Tanah menempel pada batu. Tipis dan mudah kering kalau kena panas. Tumbuhan susah hidup dan tumbuh.
Selain itu, kawasan NTT, termasuk Kupang, memang termasuk kurang hujan. Musim kemaraunya lebih panjang daripada musim hujan. Itu pun dengan intensitas yang sangat rendah. Lihat saja sekarang. Sudah pertengahan Oktober, belum juga hujan. Padahal kemarau sudah dimulai akhir Maret 2008.
Suhu udara pun mencapai titik maksimal. Menurut catatan BMG, suhu udara di Kupang sekarang di atas 36 derajat Celcius. Suhu ini bakal meningkat lagi sampai pertengahan November nanti. Dengan ini jelas hanya tanaman-tanaman besar dan umur panjang saja yang bertahan hidup. Selebihnya kering kerontang, mati.
Lalu, apakah semuanya selesai? Kelemahan kita selama ini, pasrah pada kemurahan alam. Penanaman anakan-anakan pohon di GOR cuma satu dari sekian banyak contoh. Kita pandai menanam, tapi tidak pandai merawat. Begitu ada yang berhasil dirawat pun, kita lebih mudah menghabiskannya.
Ketika hendak melakukan penanaman di GOR itu, Ketua umum kegiatan itu, Drs. Kristo Blasin mengatakan, kegiatan ini tidak selesai dengan penanaman. Masih akan dilanjutkan dengan perawatan dan pengamanan hingga pohon-pohon dinyatakan hidup. Perawatan selanjutnya akan dilakukan sejumlah petugas di GOR yang akan dibayar oleh Forum Parlemen.
Kristo juga mengatakan, penanaman anakan-anakan itu sudah dikonsultasikan dengan instansi yang menangani tata ruang kota. Bahwa di jalur penanaman itu tidak bakal ada aktivitas lain yang bisa menggusur pohon-pohon.
Niat awal itu ternyata tidak sesuai dengan pelaksanaan selanjutnya. Matinya tanaman-tanaman di kawasan GOR itu menunjukkan tidak adanya perawatan. Tidak ada yang menyiram secara rutin. Juga tidak ada pengamanan dari perusakan oleh aktivitas manusia dan ternak yang berkeliaran merumput.
Memang sangat riskan. Kawasan ini juga sering dipakai untuk kegiatan-kegiatan yang melibatkan massa. Di sana berlangsung berbagai kegiatan olahraga, ada konser musik, ada kegiatan- kegiatan politik. Sulit mengontrol massa untuk tidak merusak tanaman.
Bahkan sampai kemarin sore, saya menyaksikan lapangan antara GOR dan Jl. WJ Lalamentik digunakan warga untuk bermain bola kaki. Lapangan itu tampak gersang. Padahal anakan-anakan pohon itu ada yang ditanam di sekeliling lapangan. Setiap pohon dikelilingi pagar kayu. Tapi kemarin tidak kelihatan lagi.
Itulah kenyataannya. Terasa sia-sia tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Kita harus mengambil hikmahnya dan belajar dari pengalaman ini. Mungkin selanjutnya kita perlu mencari tempat yang lebih tampan dan nyaman. Atau mungkin perilaku kita yang harus diubah. Kita harus menyayangi tanaman dengan merawat, bukan merusaknya. Kegiatan massal apa pun yang dilangsungkan di tempat ini mestinya tetap memperhatikan keamanan tanaman-tanaman. Ternak-ternak pun harus ditertibkan. Kita harus mengubah kebiasaan, membiarkan ternak-ternak berkeliaran.
Ingatlah, merusak itu gampang. Tetapi memulihkan kerusakan itu betapa susahnya. Karena itu, apa yang sudah ada, harus kita rawat, jangan sampai rusak. Yang sudah telanjur rusak kita harus pulihkan.
Kondisi alam Kupang memang sangat menantang. Tetapi, untuk menghijaukan wilayah Kota Kupang bukanlah hal yang mustahil. Kalau menengok kembali kondisi wilayah Kota Kupang pada era 1980-an, kita harus katakan, kondisi sekarang bukanlah yang paling buruk. Kondisi Kupang waktu itu jauh lebih gersang. Coba lihat sekarang. Di sepanjang Jalan El Tari sudah ada jalur hijau. Pekarangan rumah penduduk banyak yang tampak hijau ditumbuhi pohon-pohon peneduh dan aneka bunga.
Tidak gampang untuk mencapai kondisi seperti ini. Tanya saja pada mereka yang menanam pohon-pohon itu. Pasti mereka tidak menanam lepas. Mereka rela menyisihkan tenaga dan biaya untuk merawat. Menyiram, bahkan dengan teknologi yang sedikit canggih. Menggunakan botol infus. Hanya dengan berjuang, kita berhasil menghijaukan kota ini.
Masih banyak program penanaman pohon yang bakal kita lakukan untuk menghijaukan kota ini. Sekarang pemerintah Kota Kupang menggalakkan Kupang Green and Clean (Kupang Hijau dan Bersih). Lalu untuk apa? Mengapa kita menanam pohon?
Arsitek Frank Lloyd Wright pernah mengatakan, "Teman manusia yang paling baik di bumi adalah pohon. Kalau kita menggunakan pohon dengan penuh rasa hormat dan ekonomis, kita memiliki sumber daya yang paling hebat di bumi."
Pohon adalah salah satu keajaiban alam terhebat. Semua ajaran agama dengan tegas menempatkan pohon menjadi simbol dan sumber kehidupan manusia. Cinta dan kedamaian terukir dengan menanam pohon dan segala aktivitas kehidupan di bawah pohon. Kebencian dan anarki dilukiskan dengan menebang pohon.
Pohon adalah pembentuk ruang paling dasar (akar dan tanah = lantai, batang = tiang, ranting dan daun = atap) yang menciptakan keteduhan agar manusia dapat melakukan aktivitas di bawahnya. Para murid yang sekolahnya ambruk tetap dapat belajar di bawah kerindangan pohon. Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang belum memiliki kantor masih bisa menggelar rapat di bawah pohon.
Pada era pemanasan Bumi dan berbagai bencana alam (banjir, tanah longsor, pencemaran udara, krisis air) terjadi, gerakan menanam pohon besar yang lebih banyak lagi merupakan hal mutlak. Pohon berjasa menahan air dalam tanah, mencegah erosi dan longsor, menjadi habitat bagi beragam makhluk hidup, memproduksi oksigen, menyerap karbondioksida-gas rumah kaca penyebab pemanasan global-menyaring gas polutan, meredam kebisingan, angin dan sinar matahari, dan menurunkan suhu kota.
Menanam pohon sebenarnya berbicara tentang kearifan konsumsi-investasi, menjamin kelangsungan lingkungan hidup warga dan kota. Selalu ada alternatif penyelesaian cerdas dalam membangun kota tanpa harus menebangi pohon jika kita mau berpikir panjang. Seluruh warga hendaknya berpartisipasi menggerakkan lompatan besar menghijaukan kota melawan proses penggurunan kota (hutan beton).
United Nations Environment Programme (UNEP) pada tahun 2007) berkampanye "Plant for the Planet: Billion Tree Campaign", sebagai salah satu upaya memulihkan kondisi Bumi dari pemanasan global melalui gerakan menanam pohon. (agus sape)

Jumat, 12 September 2008

Rakyat Harus Didorong Mandiri

KUPANG, PK -- Masyarakat NTT harus didorong untuk mandiri karena mereka memiliki kemampuan sendiri sebagai kekuatan lokal. Namun, kemandirian ini seringkali melemah oleh begitu banyaknya kepentingan dari luar, termasuk negara. Oleh karena itu diperlukan pendampingan.
Demikian antara lain intisari diskusi bertajuk, Membangun Kemandirian Masyarakat NTT, di ruang Redaksi Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang, Rabu (10/9/2008). Diskusi ini diselenggarakan Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang bekerja sama dengan Institute of Cross Timor for Common Property Resources Development (InCrEaSe) dalam rangka peringatan 50 Tahun NTT.
Diskusi dibuka oleh Pemimpin Umum SKH Pos Kupang, Damyan Godho, dipandu Fary DJ Francis dari InCrEaSe. Tampil sebagai pembicara Mr. Matzui Kasuhiza (peneliti senior i-i net/Expert JICA) dari Jepang, Rm. Maxi Un Bria, Pr (Penggagas kemandirian masyarakat As Manulea, Belu) dan Yusten Lalan (Pengusaha tambak dari Desa Bipolo, Kabupaten Kupang).
Peserta diskusi 30 orang, dengan latar belakang akademisi, aktivis LSM, tokoh masyarakat dan unsur pemerintah. Beberapa di antaranya, Melianus Toy (tokoh masyarakat Desa Olenasi), Johnny A Riwu (LPM Undana), Remigius Efi (BPMD NTT), Rm Leo Mali (FAN), Mario Viera (GTZ), Petrarca Karetji (DZF- Sofei/Bakti), Prof. Mia A Noach, Raymundus Lema (MPBI Kupang), Jonathan Lasa (FAN), Yosep Boli (PMPB), J Therik (Politani), Sofia Malelak de Haan (Yayasan Alfa Omega) dan Toby Messakh (Bappeda NTT).
Matsui Kazuhisa, orang Jepang yang cukup fasih berbahasa Indonesia, mengajak setiap orang untuk mencintai kampung/desanya sendiri. "Kalau Anda merasa malu dengan kampung halaman, Anda tidak mungkin serius memperbaiki kampung halaman tersebut," katanya.
Matsui mengatakan, masyarakat lokal memiliki banyak sumber daya. Sumber daya itu tidak hanya berupa kekayaan alam, tetapi juga berupa pikiran yang tersimpan dalam otak mereka. Cuma mereka menganggap sumber daya itu biasa-biasa saja dan lebih tertarik pada hal-hal yang datang dari luar.
Matsui mengemukakan sekian banyak paradoks yang terjadi dalam masyarakat lokal. "Kita kurang menyadari apa yang kita punya di dalam daerah kita sendiri. Kita perlu menciptakan suasana agar orang kota juga menghormati orang desa," katanya.
Romo Maxi Un Bria bercerita tentang perjuangan warga Desa As Manulea di Kabupaten Belu untuk mendapatkan air bersih. Warga As Manulea dulunya hidup di dataran rendah, tapi atas kebijakan pemerintah mereka pindah ke dataran tinggi di mana mereka menghadapi kesulitan air bersih.
"Masyarakat meminta kepada pemerintah untuk mengadakan proyek air bersih. Tapi, pemerintah dan DPRD mengatakan bahwa tidak mungkin karena masyarakat tinggal di dataran tinggi. Mereka menganjurkan pindah ke dataran rendah. Akhirnya pada tahun 2000 kami membentuk forum dengan tujuan utama air bersih. Lalu terbentuklah panitia air bersih. Masyarakat sepakat setiap keluarga (ada 640 KK) menyumbang Rp 250 ribu sehingga terkumpul Rp 160 juta. Ini modal awal pembangunan air bersih. Akhirnya tanggal 13 Januari 2005 air itu diresmikan. Setelah dihitung total dana untuk pembangunan air bersih itu Rp 2,6 miliar," tutur Maxi.
"Kami menyadari bahwa dengan adanya air, pola hidup masyarakat berubah, dan itu terjadi dalam masyarakat As Manulea. Anak-anak tampak bersih, ibu-ibu sudah lebih banyak waktu untuk menenun. Ini berkat kerja sama yang sinergis, komunikasi dan pendekatan dengan semua elemen," tutur Maxi.
Maxi berkesimpulan masyarakat As Manulea memiliki potensi dan kekuatan untuk menolong diri mereka sendiri keluar dari persoalan dan kesulitan hidup. Mereka memiliki sederetan kearifan lokal.
"Mereka mungkin butuh sentuhan motivasi dan pencerahan untuk menemukan semua hal potensial di antara mereka," katanya.
Romo Maxi mengatakan, dengan cara masyarakat sendiri, dengan kemampuan dan kerja sama, masyarakat dapat menghasilkan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan orang lain. Kini As Manulea menjadi pendorong, motivator untuk masyarakat lain. "As Manulea menjadi daerah yang semakin banyak dikunjungi orang karena ingin belajar tentang kemandirian masyarakatnya. Ada yang datang dari TTU," tutur Maxi.
Yusten Lalan mengisahkan perjuangan masyarakat Desa Bipolo menghadapi kesulitan mengelola usaha tambak. Namun, berkat keuletan, mereka telah berhasil membuat tambak ikan bandeng dan ada yang sudah bisa menikmati hasilnya. Apa yang mereka lakukan didorong kemauan mereka sendiri untuk mengubah nasib.
Meski berhasil, Yusten mengakui saat ini sangat susah untuk mengembalikan partisipasi masyarakat karena mereka sudah dibiasakan dengan proyek bantuan. Padahal sebenarnya di setiap lingkungan ada potensi. "Hanya pengembangannya yang salah pasang," kata Yusten.
Romo Leo Mali melihat kemandirian masyarakat justru dilemahkan oleh pihak luar, termasuk negara. Negara yang diharapkan menjadi fasilitator, dalam perkembangannya justru berubah menjadi diktator.
"Saya pernah mengalami ketika berada di kampung. Kita sebagai masyarakat tercerai-berai. Menurut saya, kita harus terbuka, bahwa selain negara, ada begitu banyak kepentingan yang menginginkan masyarakat itu lemah. Negara telah menjadi masalah untuk masyarakat. Baik itu dari proses politik, pembangunan dan sebagainya. Kita harus bisa menghubungkan proses melemahnya partisipasi masyarakat dengan semakin tuannya negara," kata Leo Mali.
Raymundus Lema mengatakan, sebelum negara ini terbentuk masyarakat kita sudah mandiri. Namun kebijakan pemerintah di masa lalu telah melemahkan kemandirian itu. Untuk mengembalikan kemandirian, dia menyarankan pendampingan terhadap masyarakat. "Sepanjang pendampingan itu tidak ada, percuma mengharapkan kemandirian masyarakat," kata Lema.
Diskusi berakhir pukul 18.30 Wita, dengan harapan ada tindak lanjut. "Kita tidak hanya bicara, tapi bagaimana berbuat sesuatu," kata Fary mengacu pada saran dan pendapat peserta diskusi. "Mari kita mulai dari diri sendiri. Apakah kita mencintai kampung kita, kecamatan kita, kabupaten, propinsi kita?" kata Fary. (aca/ati)