Minggu, 19 Oktober 2008

Dr. Marius Jelamu, M. Si: Pembangunan Berbasis Akademis

POS Kupang, 15 Oktober 2008


Dr. Marius Jelamu ketika mengikuti ujian terbuka dalam rangka meraih gelar doktor bidang pertanian di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.



PADA tahun 1990-an Marius Ardu Jelamu dikenal sebagai seorang sarjana yang kenyang dengan teori-teori filsafat dan teologi. Dia memang tamatan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (1989).
Dan, ketika dia melanjutkan studi ke program pascasarjana jurusan Sosiologi di Universitas Indonesia (1997 - 1999), setelah lulus menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Pemda NTT tahun 1995, rasanya tidak ada yang janggal. Sosiologi dianggap masih match dengan filsafat.
Tetapi, ketika dia melanjutkan studinya ke program doktor bidang penyuluhan pertanian di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2003, orang bertanya-tanya, kok bisa?
Bagi Marius tidak ada ilmu yang tidak bisa dipelajari, dan tidak ada disiplin ilmu yang tidak ada hubungannya dengan filsafat. "Bukankah di pertanian ada filsafat pertanian? Kenapa orang NTT menanam jagung, itu ada filsafatnya. Bukankah pertanian di Flores juga dirintis oleh para teolog (para pastor)?" Demikian Marius memberi alasan.
Dia pun membuktikan kata-katanya itu ketika dia menyelesaikan studi doktoralnya di IPB pada tahun 2007. Dosen-dosen pengujinya bahkan terheran-heran dengan prestasinya.
Kini disiplin ilmu yang dikuasai Marius semakin komplit. Kalau ilmu itu diumpamakan dengan pohon, maka dia sudah mengenal pohon itu mulai dari akar, batang, sampai ke ranting-rantingnya. Sekarang pun dia tahu bagaimana caranya supaya pohon itu bisa berbuah lebat.
Tanggal 6 Oktober 2008 boleh disebut tonggak penting bagi Marius di daerah ini. Pada hari itu, di usia gelar doktornya yang belum setahun, Marius dilantik menjadi Ketua Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Alumni IPB NTT bersama jajaran pengurus oleh Ketua Umum DPP Himpunan Alumni IPB.
Melalui wadah ini, dia bersama sejumlah alumni IPB yang tersebar di NTT ingin menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi daerah yang selalu dicap terbelakang dan miskin ini.
"Selama ini alumni IPB sudah banyak berkiprah di NTT, tapi masih sendiri-sendiri. Dengan berkumpul dalam satu wadah himpunan alumni, potensi-potensi ini akan menjadi kekuatan yang dahsyat bagi NTT," kata Marius dalam wawancara dengan Pos Kupang di kediamannya Jl. TDM II RT 13/RW 4 Oebufu Kupang, Sabtu (11/10/2008).
Saat ini ada 28 cabang Himpunan Alumni IPB di Indonesia. Di NTT sendiri, sudah 70 orang terdaftar sebagai anggota. Mereka kebanyakan dosen, baik di Undana maupun perguruan tinggi lainnya di Kupang, dengan keahliannya masing-masing. Ada ahli pertanian, ahli sumber daya alam dan lingkungan, ahli daerah aliran sungai, ahli kelautan dan daerah pesisir, ahli peternakan, ahli perikanan, ahli statistik dan masih banyak lagi. "Jadi dari segi SDM kami sangat kuat," kata Marius lagi.
Widyaiswara pada Badan Diklat Propinsi NTT ini mengatakan, Himpunan Alumni IPB Daerah NTT siap menjadi mitra strategis pemerintah dalam pembangunan daerah melalui kajian-kajian sesuai dengan keahlian setiap alumnus. Alumni IPB juga siap melakukan kajian terhadap program-program pemerintah. "Kami mau menjadi think tank alternatif bagi pemerintah daerah," kata pria yang sudah menghasilkan sejumlah artikel ini.
Dia memberi contoh program penanaman jagung yang digelontorkan Pemerintah Propinsi NTT saat ini. Menurut dia, program ini sangat bagus karena masyarakat NTT sudah sangat menyatu dengan jagung. Masyarakat tahu bagaimana menanam jagung.
Yang penting dari pemerintah, demikian Marius, menetapkan tujuan program menanam jagung. Kalau hanya untuk konsumsi, maka pemerintah harus tahu berapa kebutuhan konsumsi jagung masyarakat NTT, supaya penanamannya jangan sampai melebihi kebutuhan masyarakat. Tetapi, kalau orientasinya agroindustri (bisnis), maka pemerintah harus menyediakan pasar dan pengolahan pascapanen.
"Kami alumni IPB akan memberikan pikiran dan kajian terhadap program ini. Kami akan menggelar seminar dengan mendatangkan pakar dan penemu jagung dari IPB. Kami akan bekerja sama dengan praktisi-praktisi industri alumni IPB di Jakarta. Kami juga akan melobi puluhan pejabat penting alumni IPB di Jakarta. Untuk itu, kami butuh dukungan pemerintah daerah," kata Marius.
Dia menekankan agar setiap program pembangunan yang dilahirkan pemerintah daerah harus berpijak pada prinsip akademis. Maksudnya, berdasarkan hasil riset sehingga program itu sesuai dengan karakteristik daerah dan menyentuh kebutuhan riil masyarakat.
"Kita harus belajar dari negara-negara maju seperti Eropa dan Australia. Sebelum membuat program, mereka terlebih dahulu melakukan riset," kata pria kelahiran Manggarai 15 Agustus 1963 ini.
Sebaliknya dia berpendapat, program-program yang bersifat teknokratis, sebagaimana dipraktikkan pada era Orde Baru, agar ditinggalkan. Program teknokratis yang cenderung Jawa sentris dan diberlakukan seragam pada masa Orde Baru telah mengakibatkan hilangnya karakteristik lokal.
"Ini harus kita ubah. Kita harus mulai dari bawah. Mengenal karakteristik daerah kita. Karena itu, kita harus turun ke bawah, ke desa-desa," katanya. (agus sape)

Tidak ada komentar: